Karakter Ulama Aswaja

Karakter Ulama Aswaja
Tokoh Nahdlatul Ulama. sumber: opop.jatimprov.go.id

Iklan

Oleh: Mohamad Muzamil

(Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah)

nujateng.com – Tiga hal penting yang ada pada diri seorang yang alim. Pertama, selalu mengesakan Alloh Ta’ala atau muwahid, bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Alloh dan Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah. Kedua, memahami atau faqih tentang kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Dan ketiga shufi, menjalankan ilmu tasawuf sebagai bagian dari mengasah hati agar senantiasa takut kepada Alloh Ta’ala atau khosyatulloh.

Yang pertama menyangkut tentang ilmu tauhid, atau ilmu Kalam. Dalam ilmu tauhid berkembang banyak firqoh, yang disebut oleh Nabi Muhammad Saw tergolong menjadi 73 golongan. Menurut Nabi, yang selamat hanya satu, yakni orang-orang yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah-sunnah Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai ahlussunah wal jama’ah (aswaja). 

Ketika terjadi konflik antara sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. dengan sayyidina Mu’awiyah (keduanya merupakan golongan aswaja), terdapat kelompok pengikut Sayyidina Ali yang fanatik sehingga menyalahkan sahabat Abu Bakar asshidiq r.a., sahabat Umar bin Khattab r.a., dan sahabat Utsman bin Affan r.a. Mereka yang fanatik berlebihan tersebut disebut dengan Syi’ah.

Kemudian setelah terjadi tahkim atau perdamaian antara Sayyidina Ali dan Sayidina Mu’awiyah, kemudian muncul kelompok yang keempat yang tidak setuju dengan tahkim. Dan kelompok ini disebut sebagai khawarij. Kelompok yang keempat ini lebih radikal karena berpandangan, siapa saja yang tidak tidak setuju dengan pendapatnya maka dianggapnya telah murtad, keluar dari Islam.

Setelah itu berkembang firqoh lainnya seperti Muktazilah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah dan jahmiyah. Di tengah-tengah perbedaan pandangan tentang aqidah tersebut, lahir pemikir seperti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidzi yang dengan dalil-dalil yang qath’i mampu menjelaskan aqidah Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Oleh karena itu kemudian berkembang pemikiran bahwa yang dimaksud aswaja adalah mereka yang sependapat dengan pemikiran Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidziyah.

Kitab-kitab hasil karya kedua imam tersebut menjadi rujukan utama dalam kajian aswaja di kalangan mayoritas atau jumhur ulama. Dalam bidang kemasyarakatan, terdapat empat karakter ulama aswaja, yakni tawazun (keseimbangan), al-i’tidal (tegak lurus, adil), al-tawasuth (jalan tengah), dan al-tasamuh (saling menghormati) diantara ulama aswaja.

Yang kedua menyangkut pemahaman tentang syari’at. Ulama aswaja berpegang teguh pada hasil ijtihad salah satu diantara imam madzhab empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan imam Hambali. Keempat imam madzhab ini menjadi panutan dalam fiqh karena hasil ijtihad mereka telah dibukukan serta dikaji secara turun temurun secara berkesinambungan dengan hubungan yang kuat antara guru dan murid.

Dengan demikian keempat madzhab tersebut disebut sebagai madzhab yang mu’tabar, madzhab yang indah atau nafis. Secara aqidah, keempat imam madzhab ini juga mengikuti imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidzi. 

Yang ketiga, tentang tasawuf, ulama aswaja berpegang teguh pada Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali dan imam-imam thoriqoh yang mu’tabar, memiliki hubungan sanad yang bersumber dari Rasulullah Saw dan para sahabatnya dalam menjalankan al-ihsan. “Dalam beribadah seolah-olah melihat Allah Ta’ala, dan sekiranya belum mampu melihat-Nya, mereka berkeyakinan bahwa Allah Maha Melihat”.

Oleh karena itu ulama dan pengikut aswaja tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber dari segala sumber ilmu dan hukum. Namun di dalam beristinbat atau mengambil hukum-hukum secara terperinci atau tafsili dari kedua sumber tersebut, para ulama aswaja menggunakan metodologi atau manhaj yang telah dipergunakan oleh imam madzhab empat tersebut dengan teliti dan hati-hati. Maka tidak jarang ulama aswaja selalu bermusyawarah dalam memecahkan masalah yang dihadapi umat. Selain bermusyawarah, mereka juga menjalankan istikharah, memohon petunjuk kepada Alloh Ta’ala.

Dijelaskan oleh KH Abdurrahman Badjuri bahwa, ketika salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari belajar di Mekkah, ia bertemu dengan Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir. Syaikh Muhammad Abduh mengajak kepada Hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari untuk melakukan pemurnian Islam dari bid’ah, tahayul dan khurafat.

Hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari menyatakan setuju. Kemudian Syaikh Muhammad Abduh juga mengajak kepada Hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari untuk meninggalkan imam madzhab empat, dengan santun hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari menolak meskipun hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari terkenal termasuk sebagai ulama ahli Al-Qur’an dan Al-Hadits. 

Kemudian pemikiran, pendapat dan tulisan-tulisan hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari menjadi rujukan utama bagi NU dalam mengambil keputusan terkait masalah yang dihadapi, disamping merujuk pada kitab-kitab tulisan ulama terdahulu di kalangan aswaja.

Wallahu a’lam.

https://nujateng.com/2022/03/karakter-ulama-aswaja/

Author: nu jateng