Tradisi ‘Kupatan’ di Durenan Trenggalek, Ada Gunungan Ketupat

Trenggalek, NU Online Jatim

Tradisi ‘kupatan’ yang diperingati setiap tujuh hari (H+7) Idul Fitri di Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek sudah lebih dari dua abad atau generasi keempat telah berjalan alias tetap lestari. Bahkan, tradisi ini dipelopori oleh seorang kiai atau tokoh agam terkemuka di daerah tersebut.

Pengasuh Pondok Pesantren Babul Ulum KH Abdul Fattah Muin mengatakan, tradisi ‘kupatan’ dipelopori KH Mahyin putra dari KH Abdul Masyir. Kala itu, biasanya setiap kali lebaran Kiai Mahyin dijemput oleh Adipati Trenggalek guna mendampingi open house di Pendhapa Kabupaten.

Selama enam hari di Pendhapa Kabupaten Kiai Mahyin tidak makan alias berpuasa Syawal. Karena dzuriyah pondok banyak sehingga di kalangan masyarakat ‘kupatan’ familiar dari KH Abdul Masyir atau lebih dikenal Mbah Mesir.

“Aslinya Mbah Mahyin, putranya Mbah Mesir. Berhubung turunnya Mbah Mesir itu banyak, ya sudah dinisbatkan Mbah Mesir. Agar semua pada ikut, merasa nyengkuyung (bahu-membahu, red), tapi aslinnya Mbah Mahyin,” kata KH Fattah Muin ditemui di kediamannya, Ahad (16/05/2021).

KH Abdul Masyir merupakan pendiri Pondok Pesantren Babul Ulum sekitar tahun 1671. Beliau putra kiai Yahudo asal Slorok, Pacitan yang juga keturunan Mangkubuwono III, salah seorang guru Pangeran Diponegoro. 

Setelah genap H+7, kepulangan Kiai Mahyin dari Pendhapa Kabupaten disambut masyarakat dengan meminta doa dan berkah. Sebab, Kiai Mahyin memang seorang kiai kharismatik di Durenan.

Dahulu yang menjalankan puasa syawal hanya keluarga pondok, namun sekarang sudah banyak dari masyarakat biasa.

“Yang biasa puasa ya puasa, yang tidak ya tidak. Lah sekarang banyak yang puasa wajib kadang-kadang ditinggal, apalagi puasa sunah,” terang KH Abdul Fattah Muin.

Kini ‘kupatan’ sudah merambah di berbagai desa dan kecamatan. Di Desa Durenan tidak banyak yang saling anjang sana ke sanak keluarga atau teman di lebaran awal-awal. Khususnya di lingkungan pondok atau dzuriyah Mbah Mesir sepi ketika lebaran H+2 hingga H+6. 

“Sampai sekarang masyarakat ke sini siang hari tidak berani, kalau belum kupatan,” papar  Mbah Fattah.

Pengasuh PP Babul Ulum tersebut menambahkan, sebelum pandemi beberapa tahun terakhir generasi sekarang meminta restu untuk mengadakan acara kupatan dengan mengelilingi Desa Durenan. Gunungan ketupat yang disusun menjulang dengan start dari kediaman PP Babul Ulum sedangkan finish di Lapangan Durenan. Selanjutnya, gunungan ketupat diperebutkan oleh masyarakat.

“Berhubung ini acara muncul dari masyarakat, saya setujui agar lebih semarak, tapi bukan untuk melanggengkan kupatan. Ada arak-arakan atau tidak, kupatan tetap, dan kupatan Durenan tidak bisa saingi oleh daerah lain,” ungkapnya.

Kiai yang berkediaman di Jalan Masjid Barat No 2 Durenan mengungkapkan, banyak di daerah luar Durenan mengadakan ‘Kupatan’ dengan berbagai motif. Ada yang membuat ketupat ribuan, dipasang dipinggir jalan agar mendapat rekor muri. Membagi-bagikan cuma-cuma ke pengendara, hingga menarik pengunjung dengan berbagai hiburan, tidak sedikit yang mabuk-mabukan.

Pihaknya tidak menganjurkan kepada masyarakat untuk membuat acara-acara atau ‘kupatan’ tersebut. Murni karena ingin mengambil berkah serta bentuk hormat mempertahankan tradisi yang sudah ada dari nenek moyang turun-temurun.

“Ada arak-arakan atau tidak, kupatan tetap. Kupatan di Durenan tidak bisa disaingi oleh daerah lain. Ini masyarakat hampir satu kecamatan nyengkuyung (bahu membahu, red) karena menyetujui perjuangaan Mbah-mbah saya. Saya menyampaikan terima kasih kepada masyarakat,” bebernya.

Masih menurut KH Abdul Fattah Muin, semakin meluasnya yang mengadakan ‘kupatan’, semakin meringankan keluarga pondok. Karena tujuan silaturrahim tidak hanya di pondok. Tamunya sebelum pandemi ribuan yang memadati untuk bersilaturrahmi, tak ayal membuat macet ruas-ruas jalan di Durenan dan sekitarnya.

“Sebetulnya saya yakin, itu bukan tamu saya, walaupun puluhan ribu. Tapi itu tamunya ayah dan Mbah-mbah saya. Yang mengadakan kupatan ya mbah, tamunya mbah saya, karena yang ada sekarang itu saya, jadi menemui saja saya, kalau ditemui mbah malah takut,” katanya.

Kiai sepuh tersebut mengungkapkan, untuk para tamu sebaiknya menata niat jika berkunjung ‘kupatan’ di Durenan, terutama sowan ke kiai. Pertama adalah niat silaturrahmi, kedua adalah tabarrukan (red, mencari berkah). Berkah dari doa maupun dari faktor yang lain yang tidak pernah diduga namun memberikan faidah kebermanfaatan.

“Niat dari rumah kesini itu adalah niat silaturrahim, inilah yang sukar ditandingi di daerah lain. Bukan karena hiburan, bukan karena apa-api karena ingin silaturrahmi,” ungkapnya.

Untuk mengambil berkah, karena di tempat pondok pesantren banyak orang sholeh, banyak orang alim pengetahuan agama. Tempat tersebut membawa keberkahan tersendiri bagi orang yang masih hidup, hingga bisa dirasakan di dunia.

“Atsaru sholihin, labetnya (pengaruh, red) orang alim itu membawa berkah tersendiri,” terangnya.

KH Abdul Fattah Muin mengimbau untuk tetap mematuhi protokol kesehatan. Pihaknya belum bisa memastikan, kemungkinan besar keluarga pondok tidak menerima tamu di ‘Kupatan’ kali ini. Lebih jauh masih akan dimusyawarahkan lagi. Kalaupun keluarga besar pondok menyetujui, bakal diberikan pengumuman, diberikan tutup plang atau portal.

“Dibuatkan pengumuman kalau saya tidak dapat menerima tamu,” pungkasnya kepada NU Online Jatim.

Sementara makanan hidangan khas ‘kupatan’ adalah ketupat dengan perpaduan sayur tewel (nangka yang masih muda, red), lodeh sayur kacang oanjang, opor ayam, dan sebagainya. Siapapun yang berkunjung wajib untuk menyantap hidangan, kalau tidak, si penghuni rumah tidak memperkenankan untuk pulang.

Editor: Romza

https://jatim.nu.or.id/read/tradisi–kupatan–di-durenan-trenggalek–ada-gunungan-ketupat-