Marah-Marah? Kenapa?

Pernahkah menyaksikan di Tanah Suci jemaah haji marah-marah kepada selainnya? Atau pernahkah melihat video viral tentang jemaah haji yang marah-marah dan memaki-maki hingga hampir memukul petugas haji? Dan mengapa di ujung lainnya sangat banyak dan bahkan mayoritas jemaah haji menjalani rangkaian ibadah haji dengan tenangnya dan damainya? Lalu pertanyaan kuncinya, apa yang menyebabkan perilaku berbeda jemaah haji itu?

 

Pagi itu, persis usai shalat subuh, aku bersama Mahmud Syaltut dan Masnun Tahir, keduanya petugas monitoring dan evaluasi haji 2024, berziarah ke Gua Hira. Kudapati Gua Hira kali ini berbeda cukup jauh dengan sebelumnya. Ditata dengan baik bak destinasi wisata modern. Tempat parkirnya nyaman. Ada mal terbuka. Ada juga pameran wahyu (revelation exhibition, atau ma’radl al-wahyi), yang di antaranya memamerkan mushaf al-qur’an. Dan tak kalah pentingnya, ada sekian banyak resto yang siap memanjakan selera.

 

Bergegaslah naik ke gua yang menjadi tempat Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama itu. Kami bertiga sedang dalam kebutuhan untuk menapaktilasi perjuangan Nabi Muhammad SAW dan Sayyidah Khadijah di awal proses memperjuangkan Islam. Khususnya saat Nabi Muhammad SAW harus mengasingkan diri hingga proses turunnya wahyu untuk pertama kalinya. Dalam pikiran kami bertiga, perjuangan mulia itu harus dinapaktilasi. Untuk diambil pelajarannya. Sebagai bekal dalam menjalankan ajaran yang diwariskan kepada kita semua.

 

Kami bertiga menapaki perbukitan-pegunungan menuju Gua Hira. Kami pun menyadari sepenuhnya betapa sulitnya medan Gua Hira itu saat Nabi menjalani munajat spiritulnya kala itu. Hari ini saja, tetap saja medan menuju Gus Hira itu harus ditempuh dengan segala kekuatan fisik yang prima. Sambil bergerak naik, kami bertiga pun membayangkan betapa besar effort Nabi Muhammad SAW dalam perjuangannya melakukan refleksi dan kontemplasi di Gua Hira. Termasuk juga membayangkan begitu hebatnya Sayyidah Khadijah memenuhi kebutuhan konsumsi Nabi Muhammad SAW selama melakukan munajatnya di gua itu.

 

Nah dalam perjalanan kembali turun dari Gua Hira seusai berada di ketinggian gua itu, kami bertiga bertemu dengan jemaah haji sepasang suami-isteri dari Serang Banten. Nama sang suami Puryantono dan isterinya Nuro. Kedua orang ini sangat periang. Tampak dari raut mukanya suasana hati keduanya yang sangat gembira. Mereka duduk di bebatuan temurun dari Gua Hira itu. Sambil bersandar di pagar besi yang menjadi penopang pagar pengaman pejalan kaki. Mereka memang tampak lelah. Tapi mereka tetap bahagia. Raut mukanya yang masih periang sambil mengembangkan senyum saat berbicara menandakan bahwa lelah pun tak berarti apa-apa saat hati gembira.

 

Tak ada satu kalimat pun yang keluar dari lisan suami-isteri itu kecuali kesan positif atas layanan haji yang diterimakan. “Kalau di Arafah, gimana tendanya, Pak haji?” tanya Mahmud Syaltut kepada Pak Puryantono. “Ya baguslah segitu juga. Kan bukan untuk senang-senang! Ada tempat tidur, lumayan. Buat satu badan.” Begitu jawab Pak Puryantono. Saat ditanya juga soal fasilitas toilet di Arafah, catatan justeru datang dari sang isteri, Bu Nuro. Begini komentarnya: “Di Arafah, antri di toilet perempuan bisa satu jam.” Mendengar jawaban ini, Mahmud Syaltut hanya bergemuruh lirih seperti ini: “Ooooh ya ya.” Tapi, Bu Nuro itu langsung menimpali: “Itu saya rasain, tapi terus [saya jalani] dengan sabar, sabar, sabar gitu.”  

 

Selama berlangsung wawancara dengan sepasang suami-isteri Pak Puryantono dan Bu Nuro itu, tak keluar satu pernyataan negatif sekalipun. Meskipun situasi di Armuzna serba sempit dan terbatas, respon keduanya tetap positif. Pertanyaannya, mengapa dua jemaah haji suami-isteri ini selalu positif atas apapun yang terjadi pada rangkaian ibadah haji yang dijalani? Suami-isteri ini ternyata memiliki keistimewaan. Yakni keyakinan diri yang besar pada Sang Ilahi.

 

Kalimat oleh sang suami “Kan bukan untuk senang-senang!” serta “terus [saya jalani] dengan sabar, sabar, sabar” oleh sang isteri tampak saling melengkapi. Kalimat “Kan bukan untuk senang-senang!” bisa diungkapkan dengan kalimat lain: “Kan ini ibadah!” Juga, kalimat “terus [saya jalani] dengan sabar, sabar, sabar” berarti dilakukannya kepasrahan yang tinggi (total submission) kepada Sang Ilahi Rabbi. Artinya, kedua jemaah haji suami-isteri itu sama-sama menyandarkan diri kepada Allah Dzat Yang Maha Tahu. Sikap hidup itu yang melahirkan praktik serba positif atas layanan yang menyertai ibadah haji.  

 

Pak Puryantono dan Bu Nuro adalah dua jemaah haji jalur regular untuk musim haji tahun 1445 H/2024 M. Pasangan suami-isteri ini hanyalah bagian yang sangat kecil sekali dari gugusan total jemaah haji Indonesia yang mencapai angka 241.000 orang. Tapi menariknya, justeru di lapangan mudah didapati jemaah haji Indonesia dengan karakter seperti yang ditunjukkan oleh kedua pasangan suami-isteri tersebut. Tidak mudah terbakar emosi. Cenderung sabar dan tawakkal. Juga menerima dengan ikhlas atas apa yang terjadi dalam rangkaian ibadah haji di Arab Saudi. Maka, bisa disebut bahwa Pak Puryantono dan Bu Nuro mewakili kecenderungan umum jemaah haji Indonesia dengan serangkaian karakter dimaksud.

 

Usai mewawancarai Pak Puryantono dan Bu Nuro sebagai sepasang jemaah haji yang selalu tampil dengan wajah dan ungkapan hatinya penuh riang gembira di atas, Mahmud Syaltut mengajak kami berdua berefleksi: “Melihat mayoritas jemaah sebahagia seperti sepasang suami-isteri ini, lalu apa yang membuat mereka bisa bahagia? Kok ya masih ada juga orang yang marah-marah dalam berhaji?” Apalagi, sepasang suami-isteri itu sebelumnya menyatakan “happy, happy, happy” atas semua yang terjadi padanya atas pelaksanaan ibadah haji.

 

Sambil berjalan menuruni lembah itu, kami bertiga pun berbincang dengan santainya. Memberikan perspektif masing-masing terhadap masalah di atas. Juga seraya menyampaikan pengalaman masing-masing. Satu-persatu. Tentu masing-masing kami bertiga menyampaikan perspektif itu sesuai pengalaman dan pengetahuan masing-masing. Dibincangkanlah setiap perspektif itu. Satu persatu. Setiap perspektif di-challenge dengan sejumlah pertanyaan. Begitu pula seterusnya.

 

*) Sekretaris PWNU Jawa Timur 
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024


https://jatim.nu.or.id/opini/marah-marah-kenapa-ZAKCy