Analisis Semantik: Kata Ajal dalam al-Qur’an Identik dengan Kematian, Benarkah?

Oleh: Nuroyya Zainab Askho*
 

Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan agama, dunia hingga akhirat nanti. Kitab ini memiliki kekayaan bahasa dan sastra yang tinggi, hingga tak jarang dalam kesempatan berbeda, satu lafadz yang sama dapat mengungkapkan suatu hal yang berbeda. Karena kekayaan tersebut, muncul berbagai macam pendekatan untuk memahami konsep pembahasaan makna al-Qur’an, salah satunya adalah semantik.

Semantik secara etimologi merupakan ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, bahkan karena keluasannya, hampir semua yang kemungkinan memiliki makna termasuk dalam objek semantik. (Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, terjemahan Agus Fahri H,dkk, 2003. hal 1)

Seorang pakar linguistik serta akademisi yang berasal dari Jepang, Toshihiko Izutsu merupakan salah satu tokoh yang turut berkontribusi dalam mengembangkan perspektif semantik untuk menjadi salah satu alat memahami makna al-Qur’an. Namun selain Izutsu, terdapat beberapa tokoh yang turut membahas terkait semantik al-Qur’an, tepatnya menjadikan al-Qur’an sebagai objek kajian sematik, yaitu Amin al-Khulli yang menyusun buah karya berjudul Manahij Tajdid fi an-Nahwa wa al-Balaghah wa at-Tafsir wa al-Adab (1965) dan Binth al-Syathi’ dalam karyanya al-Bayani li a-Qur’an al-Karim (1966). (Siti Fahimah, Al-Qur’an dan Semantik Toshihiko Izutsu Pandangan dan Aplikasi dalam Pemahaman Konsep Maqam, Al-Fanar: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, vol 3, No 2, 2020).
 

Menurut Izutsu, sebuah kata dapat mengandung dua unsur makna yang bisa dijadikan alat bantu untuk memahami arti kata tersebut apabila dipakai pada konteks yang berbeda. Sebuah kata memiliki makna dasar dan relasional. Makna dasar merupakan konsep tunggal/ pokok dari suatu kata yang akan melekat pada kata tersebut kemanapun ia pergi/ digunakan. Sedangkan makna relasional adalah makna yang berangkat dari makna dasar, namun akan berbeda karena berelasi dengan konteks serta kata lain yang mengiringinya. Dalam kesempatan ini dapat kita lihat bagaimana al-Qur’an menyimpan makna tersirat dalam kata Ajal dari kacamata semantik (Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, 2003. hal 10-11).

Makna Dasar kata Ajal

Saat seseorang mendengar atau membaca kata ajal, makna yang akan terbesit pertama kali adalah berkaitan dengan kematian. Namun dalam kesempatan ini, pendekatan untuk memahami kata ajal terlebih dalam al-Qur’an dengan pandangan semantik akan memberikan pemahaman yang lain terkait arti/makna yang tersimpan dalam kata ajal. 

Ajal dalam al-Qur’an disebutkan 56 kali besera derivasi dan dalam beberapa shighat/ bentuk yang berbeda (Corpus Qur’an, Korpus Arab Alquran – Kamus Alquran). Dalam kamus al-Ma’any ajal bermakna waktu, waktu tertentu, waktu yang ditentukan, dan dapat bermakna sebagai sebab atas suatu hal. 

Makna Relasional kata Ajal 

Dalam fase ini, dapat dilihat pergeseran makna ajal dalam al-Qur’an apabila sudah berhadapan dengan dengan kata yang beriringan serta menyasar konteks tertentu yang berbeda berdasarkan referensi salah satu kitab turats di bawah ini. 

Dikutip dari kitab Mufradat Fi Gharibi al-Qur’an karya Imam Raghib Asfahani, ajal memiliki beberapa makna berbeda dalam beberapa ayat, yaitu mati, waktu, rusak, ‘iddah, dan adzab/siksaan. 
Ajal dimaknai sebagai kematian terdapat dalam surat al-Munafiqun ayat 10
 

وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ 

Artinya: “Infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antaramu. Dia lalu berkata (sambil menyesal), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)-ku sedikit waktu lagi, aku akan dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang saleh.”

Dalam ayat ini dapat kita lihat bahwa ajal dimaknai sebagai kematian saat mengungkapkan kalimat yang menjelaskan keterkaitan perintah Allah untuk berinfaq sebelum datangnya kematian, mengingat kematian adalah saat dimana ditutupnya amal seseorang kecuali golongan amal jariyah. 

Wajah kedua, ajal dimaknai dengan waktu yang berkenaan saat Nabi Musa menyepakati perjanjian dengan orang tua seorang gadis, hal itu tertuang dalam surat al-Qasas ayat 28 yaitu

قَالَ ذٰلِكَ بَيْنِيْ وَبَيْنَكَۗ اَيَّمَا الْاَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ ۗوَاللّٰهُ عَلٰى مَا نَقُوْلُ وَكِيْلٌ

Artinya: “Dia (Musa) berkata, “Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan atas diriku (lagi). Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan.” (Tafsir Tahlili NU Online, Surat Al-Qashash: Arab, Latin dan Terjemah Lengkap | Quran NU Online)
 

Wajah ketiga, ajal dimaknai dengan kehancuran/binasa. Pada surat al-A’raf ayat 185 dijelaskan bahwa akan ada kehancuran bagi siapapun yang mendustakan Nabi Muhammad. Allah mengecam perbuatan mereka karena enggan mengangan-angan ciptaan Allah seperti adanya langit, bulan, bintang dan bumi merupakan bukti kebesaran-Nya padahal waktu kebinasaan mereka semakin dekat.

اَوَلَمْ يَنْظُرُوْا فِيْ مَلَكُوْتِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍ وَّاَنْ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنَ قَدِ اقْتَرَبَ اَجَلُهُمْۖ فَبِاَيِّ حَدِيْثٍۢ بَعْدَهٗ يُؤْمِنُوْنَ 

Artinya: “Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala apa yang Allah ciptakan dan kemungkinan telah makin dekatnya waktu (kebinasaan) mereka? Lalu, berita mana lagi setelah ini yang akan mereka percayai?”

Wajah keempat ajal dimaknai dengan masa ‘iddah perempuan. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 232 ini menjelaskan larangan bagi seorang suami untuk menghalangi istri jika ingin menikah dengan lelaki lain apabila suami sudah menceraikannya dan telah usai masa ‘iddahnya. (Tafsir Tahlili NU Online, Surat Al-Baqarah Ayat 232: Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir Lengkap | Quran NU Online)

وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ اَنْ يَّنْكِحْنَ اَزْوَاجَهُنَّ اِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ ذٰلِكَ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ ذٰلِكُمْ اَزْكٰى لَكُمْ وَاَطْهَرُ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ 

Artinya: “Apabila kamu (sudah) menceraikan istri(-mu) lalu telah sampai (habis) masa idahnya, janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah dengan (calon) suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang patut. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hal itu lebih bersih bagi (jiwa)-mu dan lebih suci (bagi kehormatanmu). Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Qur’an Kemenag in Word)

Wajah kelima, ajal dimaknai dengan adzab (siksaan). Dalam al-Qur’an surat Nuh ayat 4 menjelaskan atas janji dan kemurahan Allah terhadap kaum Nabi Nuh yang menyembah berhala, jikalau mereka mau bertobat dan mengikuti seruan Nabi Nuh untuk beriman kepada Allah, maka Allah akan menghapus dosa-dosa mereka serta menghentikan adzab/ siksaan yang akan ditimpakan kepada mereka. 

يَغْفِرْ لَكُمْ مِّنْ ذُنُوْبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۗ اِنَّ اَجَلَ اللّٰهِ اِذَا جَاۤءَ لَا يُؤَخَّرُۘ لَوْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

Artinya: “Niscaya Dia akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkanmu (memanjangkan umurmu) sampai pada batas waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah itu, apabila telah datang, tidak dapat ditunda. Seandainya kamu mengetahui(-Nya).”

Analisis Semantik Teori Relasional

Dari paparan penjelasan keragaman makna ajal dalam al-Qur’an, dapat kita lihat bahwa saat sebuah kata beriringan dengan kata-kata lain dan membicarakan konteks tertentu, kata tersebut dapat bergeser maknanya dari makna dasar/ makna pokok yang terkadung. Dalam hal ini, ajal dapat bermakna sebagai kematian, waktu tertentu, kerusakan/kebinasaan, ‘iddah dan adzab/siksaan ((الموت, الوقت, الهلاك, العدة, العذاب.

Kelima makna ajal yang berbeda tersebut merupakan makna relasional dari kata ajal, sebab kelimanya memiliki kesamaan konsep terkait arti yang berkaitan dengan waktu, yang mana menjadi makna dasar/ makna indukan dari arti ajal dalam bahasa Arab, lalu saat kata ajal berhadapan dengan kata lain dan bermaksud untuk mengungkapkan konteks sebuah ayat, makna ajal bergeser tanpa meninggalkan arti pokok/induk. 

Dengan memahami bahwa al-Qur’an memiliki kekayaan sastra tinggi, dapat memperkuat keyakinan kita bahwa hal itu termasuk unsur i’jaz (mu’jizat) yang dimiliki oleh al-Qur’an. Selain itu, referensi ini memberikan pandangan bahwa makna al-Qur’an dapat memiliki berbagai arti, mengingat ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi sebuah kata dimaknai tidak sesuai makna secara dhohir seperti dengan kata apa ia (kata) itu beriringan, serta konteks apa yang sedang dibicarakan ayat tersebut (dapat dipengaruhi oleh Asbab al-Nuzul)

Pendapat ini turut dikuatkan oleh ungkapan Quraisy Shihab dalam salah satu kesempatan, beliau memiliki pandangan “bahwa walaupun Al-Qur’an menggunakan kosakata yang digunakan oleh orang orang Arab pada masa turunnya Al-Qur’an, pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan pengertian yang populer di kalangan mereka. Maka seseorang tidak dapat secara bebas memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian atau kosakata pada masa pra Islam atau yang berkembang di kemudian hari. Selain memperhatikan struktur dan kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an juga harus memperhatikan penggunaan Al-Qur’an terhadap kosakata tersebut, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata itu daripada pengertian yang dikenal pada masa pra-Islam”. (Mengenal Corak dan Metode Tafsir Al-Quran Quraish Shihab | Bincang Syariah). Wallahu a’lam bi al-showaab
 

*Mahasiswi IAT Sunan Kalijaga


https://jatim.nu.or.id/keislaman/analisis-semantik-kata-ajal-dalam-al-qur-an-identik-dengan-kematian-benarkah-wNerI