Kiai dan Catwalk

Di tengah demam Citayam Fashion Week yang lagi viral di jagat medsos, NU seolah tak mau dibilang kudate (kurang updateRed). Kiai dan catwalk dipadukan dalam satu momentum bertajuk Tupal (Tugu Pahlawan) Fashion Night sebagai bagian dari rangkaian acara Kick Off 1 Abad Nahdlatul Ulama yang digelar di Tugu Pahlawan, Kamis (28/7).

Citayam Fashion Week memiliki Jeje, Bonge, Roy, Kurma, dan Ale sebagai ikon. Mereka hanyalah anak muda biasa. Bukan artis, bukan selebgram, juga bukan eksekutif muda. Mereka adalah anak-anak milineal yang berasal dari pinggiran ibu kota. Tetapi dengan kreativitasnya, mereka mampu menerobos keangkuhan dunia selebritis yang selama ini didominasi kelompok sosial tertentu.

Sementara Tupal Fashion Night menghadirkan para gawagis dan nawaning dari beberapa pesantren tersohor di Jatim. Di antaranya ada Lora Nasikh dan Ning Vicky dari Ponpes Syaikhona Cholil (Bangkalan), Gus Haris dan Ning Marisa dari Ponpes Zainul Hasan Genggong (Probolinggo), Gus Ahmad dan Ning Shella dari Ponpes Lirboyo (Kediri), Gus Salam dan Ning Neli dari Ponpes Mamba’ul Ma’arif Denanyar (Jombang).

Aksi para gawagis dan nawaning itu juga tak kalah seru dibanding model sekelas Kendall Jenner yang bertarif Rp 571,6 miliar untuk sekali tampil. Juga tak kalah dengan Jasmine Tookes, Behati Prinslo, Barbara Palvin, atau Martha Hunt. Minimal sebelas dua belaslah dengan Kelly Tandiono, Laura Muljadi, atau Kimmy Jayanti.

Bedanya, para model profesional “diharamkan” tersenyum saat di atas catwalk. Bahkan, para model senior kelas dunia memberikan tips agar membayangkan hal-hal yang menyedihkan ketika beraksi. Dan saat berhenti sejenak di atas catwalk, harus menurunkan dagu dan mengangkat mata.

Pakem ini tentu saja tidak berlaku bagi para model dari kalangan gawagis dan nawaning. Soal posisi kaki yang harus segaris, tangan yang harus tergantung bebas dan melambai alami, pinggul yang mengayun lepas, serta posisi badan yang harus ditarik ke belakang, semua bisa dilakoni dengan perfecto numero uno. Kecuali satu, senyum. Rutinitas harian para model pesantren membuat mereka tak mampu menarik dan menyembunyikan senyum. Apalagi, mereka percaya bahwa senyum adalah ibadah paling murah. Hehe…

Larangan tersenyum itu setidaknya karena 3 alasan. Pertama, agar penonton tetap fokus pada busananya. Bukan modelnya. Kedua, sang model harus mampu memancarkan aura kepribadian yang kuat. Karena, ini alasan ketiga, ekspresi datar tanpa senyum menunjukkan kepribadian berkelas dan beradab dalam tradisi peradaban Eropa.

Modern vs Tradisi

Sekilas, Tupal Fashion Night hanyalah sebuah show biasa layaknya industri hiburan. Menjadi agak beda ketika penontonnya adalah para kiai dan pengurus NU se-Jatim. Melalui even ini, sepertinya NU sedang mengirim message ke publik. Sebuah pesan tematik yang selama ini seringkali diperbincangkan dengan penuh ketegangan. Baik di forum ilmiah, maupun forum keagamaan. Kok bisa begitu?

Yuk, kita simak. Catwalk, bolehlah dibilang sebagai salah satu ikon modernitas. Karena hakekat dari fashion show adalah memperagakan desain busana terbaru di atas catwalk. Sedangkan kiai, selalu identik dengan tradisionalis. Kiai adalah pemegang teguh tradisi. Baik dalam hal amaliyah, maupun dalam hal literasi. Maka ketika kiai dan catwalk berada dalam satu frame, tentu ini sebuah capture yang menarik. Simbol yang mewakili diskursus tentang ‘modernisme versus tradisionalisme’.

Manhajul fikr yang dibangun di kalangan NU, tidak menempatkan modernisme dan tradisionalisme secara dikotomik ataupun diametral. Para ulama NU menyadari betul bahwa pembaharuan adalah sebuah keniscayaan. Dari kesadaran inilah lahir salah satu pedoman al muhaafadhatu ‘ala al-qadiimi ash-shaalih wal akhdzu bil jadiidi al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik, Red).

Fashion show adalah produk budaya dari peradaban modern. Meski NU bersikap terbuka terhadap modernitas, tapi tidak berarti menerima begitu saja. Maka jangan pernah bermimpi NU akan menggelar acara seperti Bikini Contest at Hooters Pattaya. Atau kontes bra dan lingerie sekelas Victoria’s Secret yang produknya bisa berharga miliaran rupiah. Sesuatu yang baru itu akan diterima, tapi tetap dengan bingkai nilai-nilai lama yang secara ketat masih tetap dijaga.

Dan hasilnya, jadilah acara busana muslim fashion show yang menarik bagi semua penonton yang hadir. Buktinya, sebagian besar undangan yang hadir dalam Tupal Fashion Night, terlihat antusias dan menikmati acara. Baik yang kiai, santri maupun pengurus NU. Beberapa di antaranya bahkan semangat mengabadikan momentum itu dengan merekam video melalui telpon genggamnya.

Kepiawaian NU dalam meracik modernitas dan tradisi inilah yang membuat NU bisa diterima hampir di semua kalangan dan di setiap jaman. Character building yang ingin ditawarkan NU adalah sosok muslim yang memiliki sikap tawasuthtawazuni’tidal, serta tasamuh. Dengan sikap ini, setiap orang akan merasa aman dan nyaman ketika menjadi NU, atau hidup berdampingan dengan NU. Konsep inilah yang menarik perhatian dunia, dengan satu harapan besar bisa ikut mewujudkan tatanan peradaban dunia yang damai dan bermartabat. Dan itulah tugas berat An-Nahdlah Tsaniyah tahun 2026 nanti….(*)

~ Cak Lege ~

Pemimpin Redaksi NU Online Ponorogo

https://nuponorogo.or.id/kiai-dan-catwalk/

Author: Tim Redaksi