Tasawuf: Menghidupkan Nilai-Nilai Kesederhanaan bagi para Pejabat Negara

Oleh: Rizqi Ali Sa’bani (Pengurus Pondok Pesantren Al-Insaniyyah Salatiga, Mahasiswa UIN Salatiga, Kader KPMDB Wilayah Kota Salatiga)

Korupsi dalam Tinjauan Agama

Al-Qur’an adalah kitab suci yang relevan untuk setiap zaman dan tempat. Meskipun problematika dunia semakin kompleks, namun Al-Qur’an tidak pernah berhenti untuk menjadi sumber inspirasi umat manusia. Begitupun mengenai korupsi. Meski tidak spesifik, di dalam Al-Qur’an terdapat term-term yang mengarah kepada makna penghukuman korupsi yang merupakan salah satu bentuk tindakan pidana dalam Islam. Al-Qur’an menjelaskan term-term tersebut sebagai berikut: term Ghulul (Penghianatan) dalam (QS. Ali Imran [3]: 161), term ad- Dalw (Pengaruh Korup) dalam (QS. Al-Baqarah [2]: 188), term al-Suht (Penyuapan) dalam (QS. Al-Maidah [5]: 42), term al-Hirabah (Perampokan) dalam (QS. Al-Maidah [5]: 33), dan term al-Saraqah (Pencurian) dalam (QS. Al-Maidah [5]: 38).

Membahas penyebab korupsi dapat ditinjau dari berbagai aspek, mulai dari aspek moral, karakter, budaya, bahkan agama. Hal yang fundamental di antaranya adalah agama, sebuah aspek yang melekat dalam konsep seseorang ketika bertindak. Doktrin agama selalu menjadi landasan seseorang dalam bersikap.

Akhir-akhir ini pandangan masyarakat terhadap pemilihan pemimpin berdasarkan agama kian dihiraukan. Pemimpin muslim yang merupakan mayoritas agama sudah tidak lagi menjadi prioritas. Pasalnya agama tidak menjadi jaminan seseorang untuk tidak melakukan korupsi. Agama menjadi indikator nomor 2 yang dilihat setelah akhlak dan etika. Perilaku seseorang yang agamis namun korupsi telah melunturkan martabat keberagamaan hingga agama memiliki makna peyoratif dan melemah. Permasalahan mendasar bukan dalam doktrin agama, melainkan individu seorang pemeluk agama dalam menafsirkan doktrin dan memahami ajaran agama.

Abdul Munir Mulkan, seorang cendekiawan muslim menyinyalir bahwa pemahaman keagamaan yang tumbuh di masyarakat kita akhir-akhir ini cenderung bersifat matematis (hitung-hitungan). pengabdian tulus kepada Tuhan dalam beragama menjadi luntur oleh hedonisme keduniawian. Praktik keshalihan yang ditampakkan seorang pemeluk agama didesain sedemikian rupa sehingga meski melanggar, namun bisa diakali supaya tidak melanggar ketetapan syariat. Dalam bukunya “Mengakali Tuhan”, Adri Efferi mengatakan bahwa kesalihan tidak ubahnya menjadi bagian dari perdagangan kapitalistik -sesuai dengan hukum ekonomi- dengan modal sedikit untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Dalam konteks agama, para oknum melakukan tindakan dengan sedikit dosa namun menghasilkan pahala yang besar sehingga menutupi dosa tersebut. Kecenderungan ini menjadikan inti agama semakin buram.

Pelaku korupsi bukanlah orang yang bodoh. Justru pelaku korupsi adalah orang yang memahami betul apa itu korupsi dan bagaimana hukumnya dalam agama. Inilah paradoks yang terjadi dari fenomena ketinggian ilmu dan kecenderungan berkorupsi. Terjadi sebuah aksi kecelakaan negosiasi koruptor dengan agamanya sehingga terjadi kesepakatan yang tidak merugikan koruptor. Seorang koruptor memperlakukan agama dengan matematis sehingga kejahatan yang diperbuatnya tertututi oleh kebaikan yang diciptakannya dari hasil korupsi.

Model beragama Islam dengan matematis menjadi dasar utama pembenaran koruptor dalam tindakannya. Terdapat berbagai ayat yang menerangkan bahwa kesalahan manusia akan dibalas sesuai dengan kejahatan yang dilakukan secara setimpal (QS. Asy-Syara [42]:40). Namun di ayat lain dikatakan bahwa Allah membalas kebaikan manusia dengan pahala yang jumlahnya 700 kali lipat (QS. Al-Baqarah [2]: 261). Bahkan lebih dari itu, terdapat suatu malam yang kebaikan manusia akan lebih baik daripada 83,3 tahun (1.000 bulan) yang disebut dengan malam Lailatul Qodar (QS. Al-Qodar [97]: 3). Sifat Maha Pengampun Tuhan inilah yang acap kali dijadikan pintu atau celah bagi seorang koruptor, misalnya untuk ‘memutihkan’ dosa korupsi, mereka melakukan perbuatan baik.9 Demikian halnya dalam hadis Nabi yang menguatkan dalil dalam Al-Quran mengenai pembalasan kebaikan dan keburukan. Dari berbagai dalil ini, para koruptor mengkalkulasikan imbalan pahala dan hukuman dosa dan meyakini bahwa imbalan pahala jauh melebihi dosa.

Urgensi Tasawuf dalam Mereduksi Korupsi

Menurut Al-Kurdi, tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat buruk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya menuju perintah-Nya.

Di dalam berbagai aspek fenomena, lazimnya terdapat faktor internal dan eksternalnya. Begitupun dengan korupsi. Faktor internal dalam tindakan korupsi terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup11. Faktor eksternal dapat diidentifikasi dari sisi ekonomi seperti pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis seperti instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen & organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundangundangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi. Di antaranya kedua faktor ini, penulis akan menguraikan dari sisi internal melalui pembinaan tasawuf.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Ridwan. dkk. 2018. Korupsi Kolektif (Korupsi Berjamaah) di Indonesia: Antara Faktor Penyebab dan Penegakan Hukum. Jurnal Hukum Respublica, Vol. 18, No. 1

Azra, Azyumardi. 2002. Korupsi dalam Perspektif Good Governance. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2  No. I

Efferi, Adri. 2009. Mengakali Tuhan. Jakarta: Inti Medina.

Fahruddin. 2016. Tasawuf sebagai Upaya Membersihkan Hati Guna Mencapai Kedekatan dengan Allah. Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim, Volume 14 No. 1

Fajar, Muhammad. 2017. Sosiologi Agama dalam Konteks Indonesia. Ponorogo : UNIDA Gontor Press

Ilmi, Syaiful. 2011. Melacak Term Korupsi Dalam Al-Qur’an Sebagai Epistemologi Perumusan Fikih Antikorupsi. Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret

Tim Penulis Buku Pendidikn Anti-Korupsi. 2011. Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Novianti, Kurnia. 2013. Kebudayaan, Perubahan Sosial, dan Agama dalam Perspektif Antropologi. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 12

https://nujateng.com/2023/04/tasawuf-menghidupkan-nilai-nilai-kesederhanaan-bagi-para-pejabat-negara/

Author: nu jateng