Pandangan Ulama soal Hoaks dan Kebencian

Banyaknya kebencian yang diawali oleh hoaks ini membuat ulama gerah. Hal ini menarik perhatian pemerintah dan ormas keagamaan. Kementerian agama, MUI, dan Nahdlatul Ulama membahas masalah kebencian dan hoaks berbasis sentimen keagamaan secara serius. Telaah ketiga lembaga ini keluar tahun 2017 lalu berkaitan dengan maraknya ujaran kebencian. Baik, kita telaah satu per satu.

Kementerian Agama

Kementerian Agama (Kemenag) telah mengeluarkan Sembilan Seruan terkait kebencian ini. Hal itu disampaikan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saefudin, pada Jumat (28/4/2017) di Jakarta. Seruan ini terkait panduan ceramah agama di rumah ibadah.

Ada tiga hal kunci di dalam seruan itu:

1. Menyangkut penceramah

2. Bahasa Penyampaian

3. Konten Ceramahnya.

Adapun kalau konten konten ceramah yang harus dihindari adalah:

a. Secara umum konten ceramah tidak bertentangan dengan konsensus prinsip bangsa Indonesia; Pancasila, UUD RI 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.

b. Konten ceramah tidak mempertentangkan unsur suku, agama, ras, antargolongan (SARA) karena dapat memicu konflik, mencederai keharmonisan sosial, dan meretakkan hubungan sesama anak bangsa.

c. Konten ceramah tidak mengandung penghinaan dan pelecehan atas pandangan, keyakinan, dan praktik ibadah intraumat dan antarumat beragama.

d. Konten ceramah agama tidak berisi provokasi jamaah untuk melakukan diskriminasi, intimidasi, anarki, dan destruksi.

e. Konten ceramah tidak bermuatan politik praktis atau promosi bisnis.

Putusan Nahdlatul Ulama

Selain pemerintah, Nahdlatul Ulama juga melakukan imbauan serupa terkait maraknya kebencian dan hoaks ini. Para Ulama yang hadir Musyawarah Nasional (Munas) NU 2017 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), juga memiliki keresahan yang sama terkait dampak ujaran kebencian, hinaan, fitnah, hoaks, dan manipulasi informasi yang kemudian dikenal dengan istilah hate spin (pelintiran kebencian) di Indonesia.

Para ulama ini menilai fenomena mengkhawatirkan itu dapat merusak karakter anak bangsa. Media sosial dianggap sebagai akselerator penyebaran ujaran kebencian baik secara lisan maupun tertulis, yaitu twitter, facebook, whatsapp, youtube, dan jenis akun lainnya.

Ujaran kebencian, hoaks, manipulasi informasi, hatespin, pada gilirannya merusak keharmonisan dan kerukunan hidup masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, masalah ini diangkat karena tingkat urgensinya agar masyarakat tidak hidup dalam kubangan kebencian satu sama lain.

Para ulama ini memutuskan bahwa ujaran kebencian, hoaks, manipulasi informasi merupakan perilaku tercela yang jauh dari akhlakul karimah (akhlak terpuji) karena perbuatan ini menyerang kehormatan pribadi dan golongan yang dilindungi agama (hifzhul ‘irdh). Ujaran kebencian perbuatan yang mencerminkan akhlaq madzmumah (akhlak tercela) yang dilarang oleh agama Islam.

Secara lebih khusus, di dalam Islam, ujaran kebencian masuk dalam kategori namimah, ghibah, sukhriyyah, istihza`, buhtan, fitnah, dan lain-lain. Dengan kata lain, Islam telah melarang perbuatan menghasut, mengadu domba, merendahkan orang lain, menyebarkan berita bohong, dan fitnah. Semua ini termasuk kategori kemungkaran yang mesti dicegah dan dihentikan.

Selain perbuatan tercela, semua perbuatan ini dalam putusan Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudhuiyah Munas NU 2017 dinyatakan sebagai salah satu jarimah atau tindakan kriminal karena telah diatur dalam undang-undang. Ujaran kebencian mencakup ungkapan, gerak tubuh, atau simbol yang bertujuan untuk merendahkan kelompok tertentu. Ujaran kebencian tersebut juga didasarkan pada niat untuk membenci, ada kelompok yang menjadi target, menyebarkan kebencian kepada kelompok lain dengan niat tertentu.

Semua orang yang melakukan ujaran kebencian dan hoaks dihukumi berdosa karena masuk dalam perbuatan yang tercela (akhlaq madzmumah) dan pelaku kriminal atau jarimah karena telah diatur dalam undang-undang. Umat Islam dilarang melakukan dan menyebarkan ujaran kebencian yang didasarkan atas etnis, agama, ras, dan golongan.

Forum Ulama ini menilai bahwa pengaturan tentang lalu lintas komunikasi dan informasi baru bersifat parsial. Belum ada UU tentang komunikasi sebagai induk pengaturan. Maka, penanganan berbagai problem komunikasi dan arus informasi terkini, misal, seputar peredaran informasi hoaks, meluasnya ujaran kebencian atas nama ceramah agama, kebebasan membidahkan, dan mengafirkan, terasa tidak mendapat penanganan yang utuh mulai dari aspek pencegahan, pembinaan, sampai penindakan.

Konstitusi UUD 1945 menyebut jaminan Hak Berkomunikasi dan Memperoleh Informasi. Namun konsep legal komunikasi secara utuh belum memiliki rujukan hukum. Pengaturan komunikasi saat ini baru aspek parsial dari komunikasi, yaitu aspek Pers (UU 40/1999), Telekomunikasi (UU 36/1999), Penyiaran (UU 32/2002), Informasi Elektronik (UU 11/2008 dan revisinya UU19/2016), dan Informasi Publik (UU 14/2008).

Sedangkan era digital yang ditandai akselerasi media sosial (medsos) memunculkan beragam persoalan komunikasi baru di tengah masyarakat. Masalah hoaks dan problem sejenis (ujaran kebencian, fitnah, manipulasi informasi, disinformasi, peredaran prasangka, dan lain-lain) menjadi ancaman serius kehidupan berbangsa, juga beragama.

Selama ini penanganannya hanya didekati secara parsial dari aspek informasi elektronik, dengan UU ITE dan dianggap pasal karet. Padahal problem itu juga bisa berkembang dalam bentuk informasi non-elektronik. Tidak hanya di dunia maya, problem ujaran kebencian dan hoaks juga terjadi di dunia nyata, dalam ruang-ruang komunal, yaitu mimbar ceramah, forum pengajian, ruang kuliah, dan sebagainya.

Para ulama di Forum Sidang Qanuniyah Munas NU 2017 ini merekomendasikan adanya tata aturan ruang ekspresi komunikasi dan arus informasi dengan membedakan standar etika di ruang privat, ruang komunal, dan ruang publik.

Apalagi komunikasi dan informasi bermuatan keagamaan ikhtilafiyah atau dipolemikkan, baik antarmazhab dalam satu agama, maupun antaragama, yang bisa mengganggu sensitivitas publik. Kecuali itu, pemerintah perlu mengeluarkan rumusan kode etik atau standar etika dalam komunikasi dan informasi, serta mekanisme pembinaan, literasi, serta penindakan, bila terjadi pelanggaran.

Fatwa MUI

Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 menyebutkan bahwa interaksi via media sosial mencakup pembuatan (produksi), penyebaran (distribusi), akses (konsumsi), dan penggunaan informasi dan komunikasi.

Setiap Muslim yang melakukan interaksi melalui media sosial dalam fatwa MUI ini wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan.

2. Mempererat persaudaraan (ukhuwwah), baik persaudaraan keislaman (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).

3. Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antarumat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.

Adapun larangannya, setiap Muslim dalam hal menggunakan media sosial diharamkan untuk:

1. Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan.

2. Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan

3. Menyebarkan hoaks serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup

4. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i

5. Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.

Fatwa MUI tahun 2017 ini juga menyatakan bahwa tindakan memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram. Tindakan memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoaks, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram. (Alhafiz Kurniawan)

https://islam.nu.or.id/post/read/131083/pandangan-ulama-soal-hoaks-dan-kebencian