Menengok Makam Adipati Wasis Joyokusumo: Penguasa Pati yang Diburu Perajurit Mataram

Credit: Makam Adipati Pragola Pati I di Gunungpati Semarang

Oleh: Abdullah Faiz (Divisi Kajian Islam Lokal di Hammasah.id)

Gunungpati adalah salah satu kecamatan yang masuk dalam administrasi Kota Semarang. Sekilas nama “Gunungpati” dapat dideteksi dari dua kata yaitu Gunung dan Pati, muncul pertanyaan apakah penamaan ini berkaitan dengan Kabupaten Pati Jawa Tengah atau malah tidak ada kaitanya sama sekali. Setelah mencari tau, ada satu penjelasan yang lumayan menjawab dalam Wikipedia bahwa benar nama Gunungpati adalah pemberian dari Raja Kerajaan Pati Hadiningrat yaitu Wasis Joyokusumo atau dikenal dengan Pragola Pati I.

Gunungpati sekarang masih terlihat hijau dan asri, kebetulan pemerintah Kota Semarang juga menjadikannya sebagai wilayah lahan hijau. Gunungpati ini bukanlah daerah pegunungan, hanya saja memiliki jalan yang naik turun dan berliku. Pantas saja daerah ini memiliki banyak sejarah dan tapak tilas para sesepuh terdahulu. Selain menjadi pelarian Pragola Pati I atau Raja Wasis Joyokusomo, daerah ini juga pernah disinggahi oleh Sunan Kalijaga. Ada beberapa situs yang menunjukan bahwa ia pernah singgah di Gunungpati, misalnya situs Goa Kreo yang diasumsikan sebagai peristirahatan Sunan Kalijaga saat mencari kayu jati untuk pembangunan Masjid Agung Demak.

Kembali ke Pragolopati, saya tertarik untuk mencari situs peninggalan Raja Pati tersebut di Gunungpati, akhirnya saya bergegas untuk menyusuri lokasinya.

Tanah impian dan Makam Pragola Pati

Sangat pagi sekali saya menyusuri Gunungpati, kecamatan yang menampilkan kekayaan alamnya dengan pemandangan yang indah dan udara yang segar, tentu berbeda sekali dengan Semarang di bagian utara yang terasa sangat panas dan mudah sekali disapa dengan air abrasi. Saya kira Gunungpati sangat digemari oleh para wali dan para pejuang terdahulu mengingat, daerah ini penuh dengan hutan dan tidak begitu jauh dengan pusat kerajaan-kerajaan terdahulu seperti Demak, Mataram dan masih sejajar dengan jalur perjalanan menuju Pajang.

Kita mengenal para wali terdahulu yang tergabung dalam Walisongo sangat dekat dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Para raja Jawa menjadikan Walisongo sebagai guru spiritual dan penasihat kerajaan sehingga tidak heran apabila kerajaan di Jawa sangat bersentuhan erat dengan budaya-budaya keislaman yang kental. Selain itu, para wali sering meninggalkan petilasan di bukit-bukit atau gunung, karena sangat tenang untuk tempat beribadah, sehingga tidak heran apabila banyak wali-wali yang sekarang makamnya ditemukan di bukit-bukit atau gunung seperti makam Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Giri dan lainya.

Selain itu, bergeser ke era revolusi, mungkin saja, Gunungpati juga menjadi tempat persembunyian para pejuang di era penjajahan, mengingat daerah ini pernah masuk dalam wilayah setenan dari asisten wedana wilayah Kawedanan Ungaran yang terkenal markas para pejuang kemerdekaan. Dan benar saja pada era revolusi masyarakat Gunungpati ikut bergerilya dan membuat dapur umum di dekat makam Bupati Pati. (Wikipedia)

Artinya Gunungpati bukanlah daerah yang “kemarin sore” melainkan sudah lama menjadi lalu-lalang perjuangan dari masa ke masa. Kembali ke perjalanan menyusuri situs Pragola Pati I, saya menemukan gang kecil setelah melewati pasar dan terminal Gunungpati, asisten saya (google maps) menunjukan untuk berjalan lurus terus menyusuri rumah warga yang sangat padat dan sesekali melewati sungai yang sangat asri masih ada batu-batu besar dan dibelai dengan air yang sangat jernih, kemudian sekitar beberapa meter sampailah di penghujung jalan. Ada bangunan putih yang lumayan tua dan sebelahnya terdapat komplek pemakaman.

Tempat tersebut adalah lokasi peristirahatan terakhir Adipati Wasis Joyokusumo atau Pragola Pati I. Lokasinya sangat berdekatan dengan perumahan warga namun terlihat segar karena dikelilingi pohon-pohon besar. Selepas berziarah saya berkunjung ke rumah yang paling dekat dengan komplek makam, menurut warga sekitar rumah tersebut adalah juru kunci makam Pragola Pati I, awalnya saya ingin mendengarkan kisah heroik tentang Mbah Wasis Joyokusumo tersebut namun bukan keberuntungan bagi saya karena juru kunci makam sedang tidak di rumah.

Akan tetapi saya disambut baik oleh Ibu Zukanah, istri dari juru kunci makam, beliau tidak banyak bercerita karena lebih mendahulukan suaminya yang lebih tau soal asal usulnya. Tidak berhenti disini, ia memberikan sedikit penjelasan bahwa Mbah Wasis Joyokusumo atau Mbah Kiai Pati panggilan akrab masyarakat sekitar, adalah putra dari Ki Ageng Panjawi salah satu perintis Mataram Bersama Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani yang menjadi afiliasi kerajaan Pajang era Jaka Tingkir.

Ayah beliau, Ki Ageng Panjawi pernah memimpin Pati, ia mendapatkan tanah dari Raja Pajang Pangeran Hadiwijaya atau Jaka Tingkir setelah memenangkan peperangan dengan Pangeran Jipang atau Raden Arya Penangsang, kemudian berkat ayahnya tersebut Mbah Kiai Pati menggantinya menjadi pemimpin di kabupaten Pati, singkat cerita terjadi perseteruan dengan Mataram sehingga ia dicari oleh prajurit Mataram hingga akhirnya ia pergi ke daerah barat dan sampailah di pegunungan yang sekarang disebut dengan “Gunungpati”. Beliau Bersama para pengikutnya membabat hutan ini dan mengajarkan Islam kepada masyarakat sekitar sehingga masyarakat disini mengenal Adipati Wasis Joyokusumo dengan julukan Mbah Kiai Pati atau seorang yang memiliki ilmu (kiai) yang datang dari Pati.

Berawal dari sini, munculah nama Gunungpati yaitu gunung yang dibuka atau dibabat oleh seorang pemimpin, raja atau kiai dari Pati. Ibu Zukanah juga berbagi cerita bahwa setiap hari jadi Kabupaten Pati, rombongan bupati Pati selalu berziarah ke makam ini, mereka ingin bertabarruk kepada leluhurnya yang ada di Semarang. Tidak begitu lama informasi singkat ini menjawab pertanyaanku tentang penamaan “Gunungpati” yang mengendap dalam angan dan pikiran.

Untuk lokasi makam Adipati Wasis Joyokusumo tersebut berada di Plalangan Gunungpati.

https://nujateng.com/2023/08/menengok-makam-adipati-wasis-joyokusumo-penguasa-pati-yang-diburu-perajurit-mataram/

Author: nu jateng