Hidup sering kali berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Bahkan rencana yang sudah kita perhitungkan dengan matang, juga kerap tidak terwujud sebagaimana yang kita inginkan. Tidak jarang berujung pada kegagalan. Ambyar. Tidak ada lagi harapan yang tersisa untuk bisa mewujudkannya. Begitulah memang, manusia hanya bisa menyusun rencana, ketetapan Allah bisa meruntuhkannya kapan saja. Karena itu, ada sebuah petuah bijak berkata, “Manusia mengatur rencana, keputusan Allah menertawakannya.”
Kita juga kerap mencemaskan berbagai hal dalam kehidupan. Seperti rezeki, jodoh, keturunan, ujian, dan berbagai permasalahan yang kita temui sehari-hari. Padahal menurut Syekh Ibnu Athaillah, hasil dari semua itu sama pastinya dengan ajal yang akan mendatangi kita. Jadi, kita tidak perlu mencemaskan segala sesuatu yang sejatinya telah ditetapkan oleh Allah swt. Meski demikian, bukan berarti kita tidak perlu melakukan usaha atau ikhtiar sama sekali dalam setiap langkah yang akan kita jalani.
Sebab, jika kita terlalu menganggap bahwa hidup kita selayaknya wayang, yang segala geraknya ditentukan oleh dalang, kita bisa tergolong sebagai kaum Qadariyah. Sebaliknya, jika kita terlalu berpegang pada ikhtiar dan kemampuan kita sebagai manusia yang lemah ini, kita bisa juga tergolong dalam kelompok Jabariyah. Itulah keistimewaan Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari (1260-1309 M) dalam kitabnya ini. Beliau secara pas dan proporsional memadukan antara porsi ikhtiar dan tawakal.
Kitab ini berbeda dengan al-Hikam, karya legendaris Ibnu Atha’illah yang menjadi rujukan utama ilmu tasawuf, yang berisi aforisme atau kalam-kalam hikmah pendek saja. Di dalam kitab at-Tanwir ini, Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari menguraikan kalam hikmahnya dengan narasi jelas yang rinci. Mengungkap kunci-kunci mencapai kehidupan yang tenang (al-muthmainnah). Kehidupan yang berjalan tanpa rasa cemas dan kekecewaan. Penjelasannya di sini dipaparkan dengan ringan dan mudah dipahami.
Sebab keindahan bahasa dan kedalaman makna yang diungkap oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam, disebutkan dalam kitab Iqadh al-Himam fi syarh al-Hikam bahwa, “Seandainya dalam shalat dibolehkan untuk membaca selain ayat-ayat al-Quran, bait-bait dalam kitab ini sangat layak untuk itu.” Sungguh dahsyat memang. Kabar baiknya, dalam kitab at-Tanwir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini, Ibnu Atha’illah tidak berubah. Meski menjelaskan dalam bentuk narasi, beliau tetap menyusun kata demi kata dengan indah dan penuh muatan hikmah.
Uraian dalam kitab ini diperkaya dengan banyak petikan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Sesekali diselingi dengan bait syair gubahannya dan ungkapan ulama yang menggugah nurani. Di tangan Ibnu Atha’illah pula, tasawuf yang terkesan sulit dipahami oleh nalar orang biasa dan cenderung menggunakan bahasa langit, menjadi sangat membumi: aplikatif, solutif, dan relevan untuk menjawab berbagai problematika hidup manusia modern saat ini. Terutama menjawab berbagai problem kecemasan yang semakin banyak melanda jiwa-jiwa yang kering dari limpahan kasih-Nya.
Jika kita renungi dengan saksama, seperti disebutkan dalam kata pengantar buku versi terjemahan ini, salah satu bait dalam kitab al-Hikam berikut dapat dikatakan sebagai ringkasan atau inti sari dari seluruh pembahasan yang diuraikan dalam kitab at-Tanwir ini,
أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ بِـهِ غَيْرُ كَ عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ
Artinya: “Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi dunia, apa yang telah Allah atur tidak perlu kau sibuk ikut campur.”
Ibnu Atha’illah mendorong kita untuk memasrahkan urusan duniawi yang sudah Allah atur, dan hendaknya kita tidak perlu kita ikut sibuk mengurusinya. Karena dirasa sangat mewakili kandungan dari kitab ini, penerbit Turos Pustaka menjadikannya inspirasi dalam memberi judul terjemah kitab at-Tanwir ini, “Istirahatkan Dirimu dari Kehidupan Duniawi: Apa yang Telah Diatur Allah, Tak Perlu Sibuk Kau Ikut Campur”.
Ada banyak sekali jawaban yang dijabarkan oleh Ibnu Athaillah yang sangat relevan dengan beragam persoalan yang kita hadapi hari-hari ini. Tentang rezeki misalnya, sebuah persoalan yang setiap manusia hadapi saat ini. Dengan sangat detail Ibnu Atha’illah berusaha menguraikan mulai dari mengapa Allah memberikan manusia ruang untuk mencari rezeki? Mengapa tidak Allah swt. penuhi saja semua kebutuhannya tanpa perlu mencarinya? Dalam bagian lain Ibnu Athaillah menjelaskan bagaimana Allah menjamin rezeki dan segala kebutuhan hamba-Nya. Dijelaskan juga bagaimana cara seorang hamba untuk menyelaraskan antara ikhtiar dan tawakal dalam segala usaha yang dilakukannya. Di bagian pungkasan, beliau memberi kita doa agar rezeki dan segala usaha kita diberi kelancaran oleh Allah swt.
Seperti disebutkan tadi, dalam buku ini Imam Ibnu Athaillah secara garis besar membahas komposisi antara ikhtiar dan tawakal secara proporsional. Atau secara umum, sesuai judulnya, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, membahas tentang tadbir Allah. Seorang ulama sekaligus filsuf muslim pertama di Spanyol, Ibnu Bajjah menjelaskan dalam bukunya Tadbir al-Mutawahhid bahwa kata tadbir sering ini digunakan dengan makna yang berbeda-beda. Namun umumnya dimaknai sebagai, “Mengatur tindakan untuk sebuah tujuan yang direncanakan.” Tadbir digunakan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Karena Allah swt. adalah mudabbir, Yang Maha Mengatur. Sebab demikian, tadbir yang paling hakiki adalah tadbir Allah. Sedangkan penggunaan istilah ini bagi manusia hanya sebagai analogi saja.
Di tengah pandemi yang tidak menentu seperti sekarang ini, seringkali perencanaan yang telah kita tentukan tidak dapat direalisasikan, meski segala bentuk ikhtiar telah diupayakan. Hal itu tentu membuat lelah, bahkan tidak jarang berujung kecewa. Kecemasan juga kerap melanda, terutama ketika menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan dunia. Hidup seakan mendadak muram dan berjalan tanpa ada harapan. Buku ini adalah jawaban untuk berbagai problem tersebut, karenanya sangat perlu untuk kita baca dan pelan-pelan amalkan hari ini. Saat ini, setelah segala ikhtiar yang kita lakukan, kita hanya butuh menenangkan jiwa, menepi sesaat dari segala kesibukan dunia, lalu berserah diri pada Allah swt.
Dapat disimpulkan bahwa sejatinya manusia tidak sama sekali mempunyai kemampuan untuk mengatur rencana takdirnya. Wilayah manusia hanya sebatas pada ikhtiar dan tawakal. Selebihnya, setelah berusaha dan berikhtiar sekuat tenaga dalam menggapai berbagai urusan dunia, manusia hanya tinggal memasrahkan segalanya kepada Allah swt, Sang Pengatur semesta. Kita tidak perlu sibuk turut serta mengatur hasil akhirnya. Biarkan itu semua menjadi keputusan Allah semata. Dengan begitu, hidup kita akan menjadi lebih tenang dan bahagia. Wallahu a’lam.
Peresensi M Farobi Afandi, editor buku dan alumni Pesantren Ciganjur
Identitas Buku
Judul: Istirahatkan Dirimu dari Kesibukan Duniawi (Kitab at-Tanwir)
Penulis: Ibnu Athaillah as-Sakandari
Penerjemah: Zulfahani Hasyim, Lc.
Tebal: 428 halaman
Tahun: 2021
Penerbit: Turos Pustaka
ISBN: 978-623-7327-57-8
https://www.nu.or.id/post/read/131326/tidak-ikut-campur-atas-apa-yang-telah-allah-atur-