Menjadi seorang Muslim yang paripurna adalah memahami dan menjalankan ketentuan-ketentuan dalam Islam, seperti puasa pada bulan Ramadhan. Islam mewajibkan semua umat Islam yang sudah memenuhi kriterianya untuk berpuasa pada bulan Ramadhan.
Pada dasarnya, Islam mewajibkan puasa bagi mereka yang sudah memenuhi syarat dan rukunnya tidak dengan tujuan membuat mereka lapar, dahaga, dan merasakan kesulitan. Di balik semua itu terdapat beberapa tujuan dan hikmah yang sangat banyak.
Tanpa terasa bulan Ramadhan tahun ini akan memasuki penghujung waktunya. Bulan yang selalu dinanti-nanti akan segera pergi meninggalkan umat Muslim di seluruh dunia. Berikut dua tujuan diwajibkannya puasa yang perlu dijadikan renungan, yang terangkum dalam kitab Ahkamus Siyam.
Pertama, Meningkatkan Ketakwaan
Puasa menjadi salah satu bahan pokok dalam meningkatkan takwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan, di antara tujuan diwajibkannya puasa adalah agar bisa menjadi perantara meningkatkan ketakwaan. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sbelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).
Puasa menjadi pokok paling utama untuk meningkatkan imunitas ketakwaan pada Allah subhanahu wata’ala. Peningkatan ketakwaan merupakan harapan dari-Nya, sebagaimana ayat di atas. Dengan berpuasa, seseorang sudah berkomitmen menyempurnakan ketakwaannya kepada Allah, sebagaimana definisi dari takwa sendiri, yaitu mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. takwa bisa sempurna dengan berpuasa, sebagaimana takwa bisa sempurna dengan rukun Islam yang lain, seperti shalat, zakat, dan haji. Dan yang perlu direnungkan adalah, sudahkah puasa yang dilakukan selama bulan Ramadhan menjadi perantara meningkatkan ketakwaan?
Layaknya shalat. Dalam Al-Qur’an Allah subhanahu wata’ala menjanjikan kebaikan bagi orang-orang yang melakukannya, dan juga bisa meninggalkan setiap kejelekan dan keburukan bagi yang melakukannya. Namun, betapa banyak mereka yang melakukan shalat tapi masih saja melakukan maksiat. Semua itu tidak lain disebabkan ketika melakukan shalat masih banyak ketentuan-ketentuannya yang tidak terpenuhi. Begitupun dengan puasa, jika dengannya tidak bisa meningkatkan imunitas takwa kepada Allah, sementara peningkatan ketakwaan merupakan pokok utama diwajibkannya puasa, itu menunjukkan bahwa dalam melakukan puasa ada yang salah, ada yang kurang baik, dan ada pencegah yang membuatnya tidak bisa meningkatkan ketakwaan.
Perlu menjadi sebuah renungan, bahwa yang paling penting ketika melakukan ibadah, di samping menjaga dari semua hal yang bisa membatalkan ibadah tersebut, juga harus menjaga semua hal yang bisa menghilangkan pahala dan bekas ibadah pada diri sendiri. Misalnya puasa, pokok dari puasa adalah meningkatkan ketakwaan kepada Allah, semua itu bisa didapatkan apabila umat Islam sudah berhasil menjaga dirinya dari setiap hal-hal yang bisa menghilangkan pahala puasa, seperti menggunjing orang lain, mengadu domba, berbohong, riya’, merasa dirinya lebih baik dari orang lain, dan berbuka puasa dengan makanan haram.
Harus diakui, dalam beberapa hadits Rasulullah memposisikan puasa sebagai benteng bagi orang-orang yang mengerjakannya. Hanya saja, benteng itu akan tetap ada dan didapatkan apabila tidak merusaknya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الصَّوْم جُنَّةٌ مَا لَمْ يَخْرِقْهَا قَالُوْا بِأَيِّ شَيْءٍ يخرقها يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكَذْبٍ أَوِ بِسَبَّابٍ أَوْ بِفُسُوْقٍ
Artinya, “Puasa adalah benteng selama tidak ada yang menghancurkannya. Para sahabat berkata: dengan sebab apa bisa rusak wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: dengan berbohong, mencaci-maki, dan berbuat fasik.” (HR Ad-Darimi).
Kedua, Meningkatkan Pengendalian Diri
Di antara tujuan diwajibkannya puasa adalah agar umat Islam bisa mengendalikan syahwatnya dari melakukan maksiat. Hal ini, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah melalui hadits yang disampaikan oleh Ibnu Mas’ud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih mudah menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa bisa menjadi penekan syahwatnya”. (HR. Imam Ahmad dan Imam al-Bukhari)
Dengan jelas, pada hadits di atas, Rasulullah menempatkan puasa pada posisi yang sangat tinggi, yaitu sebagai pengendali diri dari maksiat serta bisa merendahkan syahwat ketika tidak bisa menikah. Dan yang perlu direnungkan dari hadits ini yaitu, sudahkah puasa yang dilakukan selama bulan Ramadhan menjadi perantara untuk melemahkan syahwat?
Sebagaimana penjelasan pada poin pertama, yaitu puasa bisa menjadi perantara untuk melemahkan syahwat apabila sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan puasa. Betapa banyak umat Islam setelah selesainya bulan Ramadhan justru syahwatnya semakin tinggi, bahkan semakin tidak terkendali. Bagaimana mungkin puasa bisa melemahkan syahwat, sedangkan saat melakukan puasa masih saja menikmati maksiat, tidak menjauhi semua larangan-larangan Islam, bahkan sama sekali tidak menambah waktu ibadah di bulan yang mulia ini.
Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.
https://islam.nu.or.id/post/read/128765/renungan-sebelum-ramadhan-pergi