Polemik Tradisi Balon Udara Tanpa Awak di Ponorogo: Bahagiamu Jangan Sampai Merusak Kebahagiaan Orang Lain

Polemik Tradisi Balon Udara Tanpa Awak di Ponorogo Bahagiamu Jangan Sampai Merusak Kebahagiaan Orang Lain
Polemik Tradisi Balon Udara Tanpa Awak di Ponorogo Bahagiamu Jangan Sampai Merusak Kebahagiaan Orang Lain

Perayaan Lebaran (Hari Raya Idul Fitri) bagi sebagian masyarakat Ponorogo terasa hambar jika tidak dibarengi dengan ‘ritual’ menerbangkan balon udara. Bagi sebagian masyarakat khusunya Ponorogo dan sekitarnya, balon udara yang diterbangkan saat momen idul fitri sudah mendarah daging, turun temurun dan menjadi semacam tradisi.

Sebagai tradisi tentu hal ini dianggap sebagai aktifitas yang harus ada. Seperti halnya lebaran dengan ketupat, lebaran dengan ‘sejarah’ (silaturahmi) atau lebaran dengan mudik. Tanpa salah satunya, lebaran akan terasa kurang, ada satu diantara mereka namun berada pada waktu yang tidak tepat juga menjadi aneh. Intinya keberadaan tradisi ini seperti sudah satu paket lebaran.

Demi tradisi yang tetap lestari para mania balon udara ini rela merogoh kocek jutaan hingga puluhan juta dikeluarkan untuk membiayai pembuatannya. Persaingan pun tidak hanya pada besaran biaya yang dikeluarkan, tetapi juga ukuran balon udara yang menjulang hingga 40-an meter. Semakin besar balon udara yang dibuat, semakin puas dan bangga ‘penerbangnya’.

Namun akhir-akhir ini, para ‘aktifis’ Lap Dhem ini nampaknya harus memutar otak untuk mencari celah supaya dapat menerbangkan apa yang mereka anggap sebagai tradisi.

Pemerintah telah melarang penerbangan balon udara tanpa awak yang dapat memicu timbulnya kecelakaan udara. Hal ini tentunya berkaitan dengan terganggunya jalur lalu lintas pesawat udara.

Selain itu, adanya balon udara yang diterbangkan tanpa awak juga dapat mengancam terjadinya kebakaran lahan, kerusakan bangunan yang ketika balon udara mendarat atau pemadaman listrik akibat kerusakan jika tersangkut pada kabel listrik.

Atas dasar pencegahan terjadinya kecelakaan udara ataupun kerusakan-kerusakan itulah pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan untuk melarang aktifitas menerbangkan balon udara. Menerbangkan balon udara dapat mengganggu lalu lintas penerbangan dan membahayakan penumpang pesawat. Setiap pelanggar dapat diancam pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Setiap kali datang hari raya Idul Fitri, pemerintah dan jajaran kepolisian disibukkan dengan aktifitas sejarah tambahan masuk ke pelosok-pelosok desa, masuk pada gang-gang perurumahan, menelusuri jalan-jalan persawahan untuk mengamankan balon udara dan ‘para penerbangnya’ ini.

Bagi mereka yang menganggap ini sebagai tradisi yang patut dilestarikan, mungkin dapat ditinjau kembali pemahaman mereka tentang tradisi. Mana tradisi yang perlu dilestarikan mana yang tidak atau membutuhkan adanya modifikasi atas tradisi itu supaya sesuai dengan perkembangan zaman.

Tradisi menerbangkan balon udara ini sebenarnya adalah kebiasaan masyarakat yang dilakukan bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Secara historis, belum terdapat suatu penelitian yang mendalam terkait bagaimana asal mula tradisi balon udara ini. Namun sebagian masyarakat Ponorogo meyakini bahwa tradisi balon udara ini telah ada sejak dulu – era sebelum kemerdekaan.

Tradisi atau traditium ialah segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu kepada saat ini. Apa yang diwariskan adalah berupa produk norma, kebiasaan, suatu benda bahkan gagasan-gagasan. Dalam konteks balon asap ini adalah mewariskan hasil cipta masyarakat dari generasi lama kepada generasi saat ini.

Piotr Sztompka menyebut tradisi perlu menyediakan fragmen historis yang dipandang bermanfaat. Bisa jadi, dulu Balon asap memiliki nilai guna bagi suatu masyarakat, mungkin memiliki unsur hiburan dan membahagiakan. Namun begitu, tradisi ini perlu menyesuaikan kondisi saat ini.

Di dalam Usul Fiqh ada kaidah dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih, menghindari keburukan itu harus didahulukan daripada mendapatkan kebaikan. Artinya melakukan tindakan pencegahan terhadap sesuatu yang dipandang membahayakan perlu menjadi fokus utama daripada menharapkan kebaikan yang sifatnya spekulatif.

Beberapa dampak yang dapat merugikan masyarakat atas penerbangan balon asap perlu dihindari untuk mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan yang lebih parah. Masyarakat perlu menyadari mana yang menjadi manfaat, mashlahat dan mengerti mana yang menjadi mudharatnya. Menimbang dua hal ini harus dilakukan untuk membangun kesadaran bersama.

Adanya balon udara ini apakah membawa manfaat, mashlahat atau justru menimbulkan mafsadat, kerusakan kerugian bagi orang lain. Jangan hanya asal membebek dengan menyebut ini sebagai tradisi yang wajib dilestarikan. Ketika ini disebut sebagai tradisi, patut dipikirkan apa yang menjadi gagasan Sztompka tentang sisi kebermanfaatan dari suatu tradisi yang harus diutamakan.

Bolehlah kita tengok beberapa tahun terakhir terjadi pemadaman listrik yang cukup lama saat hari raya idul fitri yang ketika ditelusuri adalah akibat dari balon udara yang jatuh pada kabel listrik dan menyebabkan konsleting.

Beberapa hari yang lalu, lebaran hari pertama (14/5/2021) juga terjadi kejadian serupa, padamnya aliran listrik di beberapa wilayah Ponorogo akibat balon udara jatuh tepat pada Sutet. Yang terbaru juga terjadi ledakan pada kabel listrik akibat balon udara turun tidak terkendali mengenai kabel listrik.

Tentu beberapa kasus yang telah penulis sebutkan adalah sedikit contoh dampak buruk penerbangan balon udara tanpa awak. Tidak menutup kemungkinan ketika hal ini terjadi pembiaran maka akan mengakibatkan dampak yang begitu besar lainnya sehingga merugikan pihak-pihak lain yang tidak mengerti apa-apa.

Ketika kita lihat, sebenarnya salah satu fungsi dari tradisi ialah menyediakan tempat pelarian, pelampiasan atas hiruk pikuk kehidupan modern yang melelahkan. Ada anggapan yang menyebut bahwa kembali kepada romantisme masa lalu cukup indah, sehingga tradisi masa lalu perlu dibawa ke masa kini.

Sebagai mekanisme pelarian atau pelampiasan, hal ini nampaknya naluri alamiah manusia. Tentu dalam hal ini perlu dicarikan suatu solusi atau upaya modifikasi tradisi tersebut. dalam konteks ini, solusi sekaligus modifikasi tradisi menerbangkan balon udara agar sesuai dengan kebutuhan zaman.

Salah satu contohnya ialah sebagaiana even yang pernah diselenggarakan oleh Gerakan Pemuda Ansor Ponorogo yang bekerja sama dengan Kementerian perhubungan serta AirNav dengan menyelenggarakan festival balon udara. Setidaknya ikhtiyar ini menjadi salah satu solusi atas pelestarian tradisi menerbangkan balon udara yang tidak syarat akan mafsadat.

Sehingga keinginan masyarakat akan ‘nguri-uri’ tradisi masih tetap dapat dilaksanakan bersamaan itu tetap dapat menjaga ketenteraman, kenyamanan dan keamanan masyarakat. Jangan sampai kebahagiaan segelintir orang merusak dan mengorbankan kebahagiaan orang banyak, akan lebih indah jika semua berbahagia di bulan kebahagiaan.

Azmi Mustaqim

https://nuponorogo.or.id/polemik-tradisi-balon-udara-tanpa-awak-di-ponorogo-bahagiamu-jangan-sampai-merusak-kebahagiaan-orang-lain/

Author: Tim Redaksi