Jakarta, NU Online
Berkuasanya kelompok Taliban di Afghanistan memunculkan perjuangan para perempuan karena tidak diakomodasi. Para perempuan Afghanistan mendesak pemenuhan hak-hak untuk belajar dan bekerja kepada pemerintahan baru Taliban.
Dikutip dari DW, sejak Taliban kembali berkuasa setelah perang dua decade atau 20 tahun, kelompok militan fundamentalis Taliban membatasi peran perempuan di bidang Pendidikan dan ruang publik.
Seperti dilansir AP, pada Ahad lalu pemerintah sementara Taliban di Kabul, Mayor Hamdullah Namony menjelaskan para pekerja perempuan telah diminta untuk tetap di rumah.
Taliban sebelumnya mengatakan mereka berkomitmen untuk menghargai hak-hak perempuan, dan tidak akan melarang perempuan mendapatkan pendidikan atau pekerjaan.
Namun sejak mereka mengambil kendali pada 15 Agustus, mereka meminta semua perempuan, kecuali mereka yang bekerja di sektor kesehatan publik, untuk tidak bekerja, sampai situasi keamanan membaik.
Keamanan adalah salah satu alasan yang diberikan kelompok itu ketika mereka berkuasa pada tahun 1990-an untuk melarang perempuan bekerja, dan banyak perempuan seperti Sara khawatir kali ini tidak akan berbeda.
Ia pernah bekerja sebagai penasihat di sebuah departemen pemerintah, dan juga memiliki usaha sendiri. Ia berkata keluarganya mengkhawatirkan keselamatan nyawanya.
Organisasi hak-hak perempuan memperingatkan dampak terhadap kehidupan dan kebebasan perempuan setelah Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan.
“Kami sangat khawatir akan terjadi sesuatu terkait keberadaan kaum perempuan. Mereka akan dibunuh atau dipaksa menikah, dianiaya, menderita kekerasan,” ujar Gesa Birkmann dari organisasi hak-hak perempuan “Terre des Femmes” kepada kantor berita Associated Press, Senin (16/8).
Birkmann mengungkapkan harapannya bahwa operasi evakuasi orang-orang dari Kabul dapat “diatur dengan stabil” untuk membawa keluar “sejumlah aktivis hak-hak perempuan dari negara itu.”
Generasi Afghanistan yang lebih tua masih ingat akan pandangan Taliban yang ultrakonservatif terhadap Islam. Sewaktu berkuasa, Taliban sangat membatasi kaum perempuan. Mereka juga memberlakukan rajam dan amputasi di depan umum sebelum kekuasaan mereka digulingkan oleh invasi pimpinan AS setelah serangan teror 11 September 2001.
Birkmann mengkritik penarikan cepat pasukan AS dari Afghanistan sebagai langkah yang “tidak bertanggung jawab.” Ia menambahkan kemajuan hak-hak perempuan di negara itu “belum mendapatkan pijakan yang stabil”.
“Situasinya berjalan sedemikian cepat, tentu saja tidak ada yang memperkirakan itu terjadi. Namun dapat diprediksi bahwa situasinya akan menjadi jauh lebih buruk bagi masyarakat, bagi penduduk sipil, terutama anak perempuan dan kaum perempuan di Afghanistan,” kata Gesa Birkmann.
Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon