Pentingkah Memilih Pasangan yang Kaya?

Memiliki pasangan yang ideal tentu hal yang diinginkan setiap orang. Tidak sedikit pula yang menetapkan kriteria tertentu bagi calon pasangannya. Dalam Islam, memilih pasangan yang ideal itu penting sekalipun tidak menjadi syarat sah pernikahan. Artinya, pernikahan akan tetap sah meski antara suami dan istri “tidak ada kesesuaian”. Akan tetapi, aspek idealitas atau yang dikenal dengan istilah kafa’ah merupakan hak bagi seorang perempuan dan walinya. Apa saja indikator kafa’ah yang ditetapkan oleh Islam? Apakah kekayaan merupakan salah satu faktor penting?

Ulama berbeda pendapat tentang indikator kafa’ah dalam pernikahan. Imam Syafi’i mempertimbangkan lima aspek dalam kafa’ah, yaitu: agama, nasab, pekerjaan, merdeka dan ketidakcacatan. Sebagian murid Imam Syafi’i menambahkan satu aspek lagi, yaitu kekayaan. Adapun Imam Abu Hanifah tidak menganggap aspek kitidakcacatan atau selamat dari aib pernikahan sebagai indikator kafa’ah.

وَالْكَفَاءَةُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ فِيْ خَمْسَةٍ: اَلدِّيْنُ وَالنَّسَبُ وَالصُّنْعَةُ وَالْحُرِّيَةُ وَالْخُلُوُّ مِن الْعُيُوْبِ، وَشَرَطَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ الْيَسَارَ، وَقَوْلُ أَبِيْ حَنِيْفَةَ كَقَوْلِ الشَّافِعِي لَكِنَّهُ لَمْ يَعْتَبِرْ الْخُلُوَّ مِنَ الْعُيُوْبِ

“Kafa’ah menurut Imam Syafi’i mencakup lima hal: agama, nasab, pekerjaan, merdeka, dan tidak memiliki aib, sebagian muridnya mensyaratkan pula kekayaan. Pendapat Imam Abu Hanifah sama seperti Imam Syafi’i, hanya saja beliau tidak mempertimbangkan aspek selamat dari aib” (Abu Abdullah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimsyaqi al-‘Utsmani as-Syafi’i, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilafi al-Aimmah, [Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah], 1971, h. 177).

Berdasarkan pendapat di atas, sebenarnya kekayaan bukanlah parameter idealitas dalam pernikahan. Hanya saja, pekerjaan atau profesi menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan. Jika ditelisik lebih lanjut, tingkatan profesi seseorang itu akan mempengaruhi pendapatan yang ia hasilkan sehingga dapat menentukan kaya atau tidaknya seseorang. Lantas mengapa antara pekerjaan dan kekayaan dibedakan?

Di kalangan ulama’ Syafi’iyah sendiri masih terjadi perselisihan perihal kekayaan, apakah menjadi parameter ataupun tidak. Pendapat yang tidak menganggapnya sebagai parameter kafa’ah menyatakan alasan bahwasanya harta kekayaan itu hal yang bisa hilang kapan saja. Seseorang bisa jadi memiliki harta yang melimpah namun tidak menutup kemungkinan harta itu akan habis seiring berjalannya waktu. Akan tetapi jika seseorang memiliki pekerjaan, maka ia akan mampu menghidupi keluarganya dari hasil kerja yang ia geluti.

وَالْاَصَحُّ أَنَّ الْيَسَارَ لَا يُعْتَبَرُ فِيْ الْكَفَاءَةِ لِاَنَّ الْمَالَ ظِلٌّ زَائِلٌ وَلَا يَفْتَخِرُ بِهِ أَهْلُ اْلمُرُوْءَاتِ وَالْبَصَائِرُ

Artinya, “dan pendapat yang paling shohih ialah kekayaan itu tidak dipertimbangkan dalam kafa’ah karena sesungguhnya harta itu umpama bayangan yang dapat hilang. Orang-orang ahli muru’ah dan orang-orang yang bijak tidak pernah berbangga dengan harta” (Syeh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain [Surabaya: Nurul Huda], h. 106).

Adapun pendapat lain menganggap bahwa kekayaan itu diperhitungkan dalam kafa’ah. Hal ini berhubungan dengan nafkah yang akan diberikan oleh sang suami. Jika seorang perempuan dinikahi oleh laki-laki yang miskin, maka ia akan dinafkahi dengan kadar nafkahnya orang miskin. Keadaan ini dinilai merugikan perempuan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Khatib asy-Syirbini sebagai berikut:

وَالثًّانِي يُعْتَبَرُ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ مُعْسِرًا لَمْ يُنْفِقْ عَلَى الْوَلَدِ وَتَتَضَرَّرُ هِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَيْهَا نَفَقَةِ الْمُعْسِرِيْنَ

Artinya, “pendapat yang kedua yaitu (kekayaan) dipertimbangkan (dalam kafa’ah). Karena apabila seorang suami itu miskin, ia tidak mampu menafkahi anaknya dan seorang istri akan dirugikan karena diberi nafkah layaknya nafkah orang miskin” (Al Khotib As-Syirbini, Al-Mughni al-Muhtaj [Beirut: Dar al-Fikr] juz 3 hal. 167).

Pendapat tersebut juga dirujuk oleh Imam Abu Bakr Syatha Muhammad Ad-Dimyati (w. 1310 H), (Lihat Abu Bakr Syatha Muhammad Ad-Dimyati as-Syafi’i, I’anatu at-Tholibin ‘ala Hilli Alfadzi Fathi Al-Muin (1997, III: 380). Bahkan dikatakan bahwa seorang wali yang menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang miskin, sehingga ia kesulitan membayar mahar, maka pernikahan yang demikian itu tidak sah.

لَوْ زَوَّجَهَا وَلِيُّهَا بِالْإِجْبَارِ بِمُعْسِرٍ بِحَالِ صَدَاقِهَا عَلَيْهِ لَمْ يَصِحَّ النِّكَاحُ كَمَا مَرَّ وَلَيْسَ مَبْنِيًّا عَلَى اِعْتِبَارِ الْيَسَارِ، كَمَا قَالَهُ اَلَّزَرْكَشِي، بَلْ لِأَنَّهُ بِخِسِّهِا حَقَّهَا، فَهُوَ كَمَا لَوْ زَوَّجَهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ

Artinya, “Jika seorang wali menikahkan anak perempuannya secara paksa dengan laki-laki yang kesulitan untuk membayar mahar perempuan tadi, maka pernikahannya tidak sah, sebagaimana yang telah disebutkan. Hal ini tidak menjadi landasan dipertimbangkannya aspek kekayaan, seperti pendapat Imam Zarkasyi. Akan tetapi pernikahan yang semacam itu seolah-olah merendahkan hak perempuan, yaitu seperti menikahkan perempuan dengan laki-laki yang tidak ideal (tidak se-kufu)” (Syamsuddin Muhammad bin Abu Al Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin Al-Ramli, Nihayatu al-Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj [Beirut: Dar al-Fikr], 1404 H/1984 M, juz 6, h. 260).

Berpedoman atas pendapat yang paling shahih, kekayaan memang tidak menjadi parameter dalam menentukan suami. Akan tetapi, hendaknya memilih suami yang mampu menafkahi istri dan anaknya sesuai kebutuhan (sebagaimana mestinya). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memilih pasangan yang tepat dapat dilakukan dengan memilih calon suami yang dapat mencukupi kebutuhan dan memberi nafkah yang layak kepada perempuan.

Lilik Iswanti, Santri Ma’had Al-Jami’ah Al-‘Aly UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

https://islam.nu.or.id/post/read/128998/pentingkah-memilih-pasangan-yang-kaya-