Oleh: M. Luthfi Nanang Setiawan (Mahasiswa dan Penulis di Justisia.com)
Pembaharuan Islam harus selalu digemakan dan mengisi ruang-ruang kajian keagamaan. Perkembangan zaman selalu menuntut perubahan, dan ‘relevensi’ pemikiran selalu diprioritaskan. Merupakan desakan metodologis-historis untuk adaptif dan sensitif dalam tugasnya menjadi pendamping dan pengontrol perkembangan dan perubahan zaman. Tidak bisa dipungkiri, agama selalu menjadi patron dan pengayom bagi mayoritas orang.
Dalam konteks Indonesia, term ini sudah dikenal sejak tahun 1970-an, puncaknya ketika ikon cendekiawan Islam di Indonesia menghadirkan sejumlah pemikiran yang dianggap kontradiktif sekaligus atraktif, Nurcholis Majid. Tawaran pemikirannya sangat divergen dengan pemikiran Islam yang sudah lama dikenal dan terpatri sejak dini dalam diri masyarakat muslim di Indonesia.
Pemikirannya berkelindan dan saling berkaitan di antara tiga tema besar; Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan. Ia berhasil membuat kontroversi dengan mencoba mendekonstruksi pemikiran Islam yang dianggapnya sudah lama mengalami fosilisasi, kemandegan, stagnasi dan kejumudan yang membuat umat Islam kehilangan daya tajam dan adaptasinya menghadapi laju problematika kehidupan nyata dan kompleks.
Salah satu pemikiran yang dianggap paling polemik dan kontroversial adalah ketika ia mendekontruksi eksklusivisme dan menawarkan inklusivisme sebagai gantinya. Hal ini jelas dianggap melawan arus pemahaman mainstream. Sebagai cendekiawan neo-modernisme, Ia membangun nalar inklusivisme menggunakan pendekatan dan metodologi modern tanpa menafikan argumentasi doktrin-doktrin otentik Islam itu sendiri, yaitu al-Quran dan hadis plus pendapat ulama-ulama terdahulu. (Nasitotul Janah, 2017)
Nurcholis Majid lahir di Jombang, Jawa Timur pada 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005. Akrab dengan panggilan Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Satu generasi dengan Gus Dur (Pribumasasi Islam) dan Haris Nasution (Islam Rasional), serta sama menyumbangkan buah pemikiran yang kontroversial (Sekulerisme dan Pluralisme).
Ketiga tokoh di atas berangkat dari kerangka konseptual-teoritis yang sama. Pandangannya mengenai pertanyaan fundamental yaitu bagaimana ajaran Islam yang universal bisa ditempatkan dalam kerangka modernitas budaya dan sesuai dengan kaidah tempatnya. Islam adalah universal dan praktik implementasi dari implikasi substansinya sedemikian rupa harus partikular. Islam dituntut menyesuaikan perkembangan zaman dan budaya lokal.
Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan adalah bukan menolak modernitas tersebut melainkan menafsirkan kembali ajaran tersebut (Madjid, 2000:493). Antara keotentikan dan kemodernan tidak dapat dilepaskan dalam merespon permasalahan umat. Dengan kata lain diperlukan kesadaran akan kekayaan tradisi sekaligus kemampuan untuk senantiasa membuat inovasi dalam “ruang” Indonesia dan “waktu” zaman modern.
Gerakan intelektual yang digagas oleh Cak Nur pada tahun 1970-an adalah Gerakan Pembaharuan Pemikiran Keagamaan. Lahirnya gerakan ini dinilai sebagai suatu gerakan yang paling radikal dalam pemikiran religio-politik di Indonesia hingga saat ini. Makna penting dari gerakan ini terletak pada usaha untuk mereformulasi postulat doktrin Islam yang kaitannya dengan masalah ketuhanan, kemanusiaa, dan dunia serta kaitannya dalam realitas politik dan kebangsaan.
Latar belakang logika sederhana Nurcholis dalam merekonstruksi pemikirannya adalah hasil akumulasi perjalanan hidupnya sekaligus pengembaraan intelektualnya. Hasil pemikiran dan kajiannya tidak keluar dari pendekatan Nurcholis berupa kritis dekonstruktif dan pendekatan humanistik-antroposentris. (Suprayogo, 2003:68)
Nurcholish berhasil mengelaborasi bahasa-bahasa agama yang bersifat metafisis dan intuitif, menjadi rasional dan obyektif dengan menggunakan metode filologi dan historis induktif serta teori-teori sosial modern.
Dalam konteks penggunaan literatur klasik, Nurcholish tidak hanya bertindak sebagai penerjemah, melainkan pula memberi komentar dan analisis kritis untuk menampilkan pandangannya tentang soal keimanan, kemanusiaan dan kemodernan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Dengan keahliannya dalam menguasai literatur klasik itulah, Nurcholish berusaha mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal.
Artinya, walau ajaran bersifat Universal dengan teks-teks yang bersifat preskriptif-normatif, tetapi dalam aplikasinya perlu rekontruksi-reaktualisasi. Dalam praktiknya menuntut pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio kultural masyarakat Indonesia. Nurcholis sendiri dalam menjawab persoalan ini menggunakan pendekatan hermeneutika-konstektualis.
Nurcholish mendasari epistemologi pemikirannya dengan mempertimbangkan konteks nilai-nilai fundamental Islam yang bersumber pada tradisi Islam klasik yang dipadukan dengan literatur dan metodologi modern atas kasus-kasus aktual. Dengan kata lain gagasan pembaruan Nurcholish berangkat dan bertolak dari tradisi khazanah Islam klasik yang ditransformasikan dalam jargon dan terminologi modern. Inilah watak dan karakter pemikirannya. (Nasitotul Janah, 2017)
Dilihat dari implikasi pemikirannya, Nurcholis Majid atau akrab dengan sapaan Cak Nur adalah seorang yang mampu bergerak dinamis, adaptif dan akomodatif terhadap kebutuhan sekaligus permasalahan muslim Indonesia yang semakin krisis akan medium analisis dalam menghadapi laju problematika kehidupan dan kemodernan.
Apresiasi sekaligus penghargaan bagi beliau tanpa harus umat kehilangan daya kritis nya—terlepas sambutan pro kontra mengenai kontribusi pemikirannya.
The post Pemikiran Nurcholis Majid: Kontribusi atau Kontradiksi? appeared first on Suara Nahdliyin Jawa Tengah.