Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung rencana pemerintah menekan emisi karbon, dengan menerapkan kebijakan pajak melalui revisi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin mengatakan, pajak karbon diperlukan untuk mengurangi emisi karbon yang membahayakan kehidupan manusia. Suhu yang makin menghangat meningkatkan risiko terjadinya bencana, sehingga perlu upaya mitigasi untuk menjawab tantangan perubahan iklim.
“Saya mendukung adanya pajak karbon untuk tambahan APBN dalam jangka panjang, meskipun itu bukan alasan utama. Dalam hal ini, Indonesia perlu meniru negara maju dalam menggali pemasukan dari emisi karbon,” katanya dalam acara Bahtsul Masail, Pajak, dan Perdagangan Karbon di TVNU, Senin (20/9/2021).
Kiai yang akrab disapa Gus Ishom itu memaparkan syarat utama penerapan pajak karbon adalah keadilan. Karenanya, pihak yang terdampak kebijakan harus menjadi perhatian utama dalam proses dialog dan komunikasi. Sebab, dunia usaha menjadi sektor yang paling terdampak dengan adanya pajak karbon.
Maka dari itu, ia mengungkapkan pentingnya kerja sama pemerintah sebagai pemilik kebijakan dengan pelaku usaha yang terdampak kebijakan pemerintah. Tanpa kerja sama kebijakan pemerintah tidak menghasilkan dampak signifikan, terutama dalam penurunan emisi lewat rencana pajak karbon.
“Pajak karbon harus betul-betul didialogkan dan dikomunikasikan untuk mencapai kesepakatan dalam upaya melindungi kehidupan dari hal-hal yang bisa merusak manusia dan alam di sekitarnya,” terangnya.
Ditegaskan, penerapan pajak karbon ataupun perdagangan karbon tidak bertentangan dengan syariah Islam. Pajak diperlukan untuk melindungi kepentingan umum dan perdagangan karbon juga sebagai mekanisme kompensasi bagi produksi yang menghasilkan emisi karbon.
“Jadi, perdagangan karbon itu sebagai bentuk kompensasi dengan mengeluarkan biaya atas pencemaran yang dihasilkan,” tegas.
Berkaitan dengan RUU KUP, dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI membahas RUU KUP, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggodok tarif pajak karbon dalam RUU tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Bendahara negara ini mengusulkan, pajak karbon dikenakan tarif sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Lewat RUU KUP, pajak karbon diatur dalam pasal baru.
“Klaster kelima pengenaan pajak baru berupa pajak karbon lingkungan, yaitu pengenaan pajak karbon untuk pemulihan lingkungan dengan tarif sebesar Rp 75/kgCO2e. Ini adalah pasal baru,” ungkapnya.
Mengingat, pengenaan pajak karbon adalah upaya Indonesia mengatasi perubahan iklim. Indonesia, kata Sri Mulyani, berperan penting dalam komitmen dunia mengurangi efek gas rumah kaca.
Ia menjelaskan, Indonesia turut meratifikasi perjanjian internasional seperti Paris Agreement dengan komitmen menurunkan 26 persen emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2020, dan 29 persen pada tahun 2030. Bahkan angkanya bisa lebih tinggi bila mendapat dukungan internasional.
“Indonesia termasuk negara yang sudah meratifikasi Paris Agreement dengan mencapai target nasional penurunan 29 persen CO2 dengan kemampuan sendiri, dan penurunan CO2 emission 41 persen apabila dapat dukungan Internasional pada tahun 2030,” jelasnya.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syakir NF
https://www.nu.or.id/post/read/131485/pbnu-dukung-rencana-pemerintah-menekan-emisi-karbon