Ngaji Suluk Maleman: Membangun Kewaspadaan dengan Keterbukaan

Pati, NU Online

Suluk Maleman edisi ke-114 yang digelar secara streaming pada Sabtu (19/6) lalu kemarin kembali mengulik persoalan pandemi Covid-19. Sejumlah tokoh turut diundang menjadi narasumber dalam ngaji budaya tersebut. Berbagai masukan pun muncul.

Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daerah Istimewa Yogyakarta dr Darwito, menekankan tentang betapa pentingnya pemerintah daerah dalam menggandeng universitas yang memiliki epidemiolog.

“Persoalan Covid-19 bukan hanya persoalan kesehatan pribadi tapi masyarakat. Makanya perlu pendekatan kesehatan masyarakat. Seharusnya Pemkab bisa menggandeng epidemiolog untuk pengambilan kebijakan; sehingga sebelum terjadi tren kenaikan sudah bisa dilihat arahnya dan bisa dilakukan persiapan atau kalau perlu pencegahan,” tegas Darwito.

Darwito juga menyebut betapa pentingnya keberadaan tempat isolasi terpusat atau shelter. Hal ini harus dilakukan untuk mencegah kolapsnya rumah sakit karena kelebihan kapasitas; sekaligus mencegah OTG atau mereka bergejala ringan memperluas penularan sehingga membuat ledakan kasus.

“Harusnya ada pemilahan yang jelas. Rumah sakit hanya disiapkan bagi pasien yang bergejala sedang sampai berat. Untuk yang bergejala ringan, apalagi tanpa gejala, cukup di tempat isolasi terpusat. Jangan di rumah kalau tidak memiliki fasilitas yang memadai,” tambah dia.

Bila perlu tempat isolasi terpusat itu didirikan di tiap desa bahkan dukuh. Pasalnya orang akan merasa lebih nyaman jika ditempatkan di dekat tempat tinggalnya. Untuk kebutuhannya bisa dilakukan dari pemerintah desa maupun pemerintah kabupaten bahkan masyarakat yang mampu pun bisa diajak untuk bergotong royong.

“Untuk tenaga medisnya mungkin dokter dan perawat digilirkan dari puskesmas. Berkeliling dari satu tempat isolasi ke yang lainnya. Dengan begitu rumah sakit tidak akan kolaps. Karena kalau rumah sakit over kapasitas tentu tenaga kesehatan juga akan kewalahan padahal melahirkan dokter itu butuh waktu yang lama,” terangnya.

Abdul Jalil menambahkan datangnya hari raya Idul Adha juga patut mendapatkan perhatian serius. Terlebih dalam prosesi penyembelihan hewan kurban yang dinilai rawan menyebabkan kerumunan warga. Namun pihaknya menyayangkan belum ada upaya maupun langkah antisipasi pemerintah dalam penanganannya.

“Di Kudus sendiri ada sekitar 800 masjid. Jika dihitung dengan mushala ada sekitar 1800-an. Ini potensi kerumunan luar biasa. Kalau tidak diantisipasi akan meledak lagi. Tapi sampai sekarang ini belum ada skenario penanganan apapun,” tegasnya.

Pihaknya pun berharap pemerintah mau duduk bersama untuk membaca data sehingga penanganannya bisa dilakukan dengan baik. Terlebih dalam membuat standard operasional yang baik.

“Harapan kami tentu ibadah tetap bisa berjalan dengan baik. Prokes berjalan dengan baik, covid juga terkontrol,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Dr Abdul Jalil juga mendesak pemerintah untuk lebih transparan terkait data Covid-19. Berkait dengan ledakan kasus Covid 19 di Kudus misalnya, Abdul Jalil menyebut bahwa data yang dipublikasi selama ini tidak transparan. Dia bahkan menyesalkan pernyataan Menteri Kesehatan yang mengkambing-hitamkan wisata religi sebagai pemicunya.

“Seharusnya pemerintah terbuka tentang ini, karena ini masalah bersama yang juga harus dihadapi secara bersama-sama. Dengan begitu untuk penanganannya pun bisa dilakukan dengan baik,” sambungnya. 

Di luar masalah tersebut, Abdul Jalil  juga menyesalkan bahwa meski dengan prokes ketat shalat Jum’at tetap tidak dapat diselenggarakan, sementara di sisi lain mall dapat tetap buka dan ramai.

Habib Anis Sholeh Baasyin penggagas Suluk Maleman menyebut, keterbukaan informasi dan transparansi data soal Covid memang menjadi penting dilakukan dalam penanganan pandemi. Ketidakjelasan informasi ditambah muncul banyaknya hoaks membuat masyarakat kebingungan.

“Akhirnya yang terjadi ada dua hal kalau tidak membuat masyarakat paranoid atau ketakutan luar biasa juga bisa membuat warga justru menjadi abai dan tidak peduli,” tegasnya.

Anis menyebut bahwa gelombang pandemi kali ini salah satunya diakibatkan karena kurang dan tidak transparannya data yang beredar sebelumnya, ditambah kenyataan semakin kendornya 3 T oleh pemerintah. Padahal data tentang ini menjadi sangat penting untuk menjaga kewaspadaan masyarakat sekaligus menjadi sistem pengingat dini terhadap bahaya yang mungkin akan datang.

Sementara itu, Prof Saratri Wilonoyudho menambahkan bahwa kecuali transparansi dan sistem pendataan yang baik, perlu juga adanya pendekatan sosial budaya dan keagamaan dalam penanganan covid 19. Terutama komunikasi antar pemangku kepentingan. Baik pemerintah daerah, aparat, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun akademisi.

Menurut Saratri, tanpa ada keterbukaan dan kerja sama yang baik dari para pemangku kepentingan ini; penanganan menyeluruh terhadap pandemi kali ini akan jauh panggang dari api.

Meski digelar secara streaming, ribuan penonton tampak menyaksikannya dari berbagai kanal media sosial. Mereka turut dihibur video klip musik religi koleksi dari Sampak GusUran.

Editor: Fathoni Ahmad

https://www.nu.or.id/post/read/129578/ngaji-suluk-maleman-membangun-kewaspadaan-dengan-keterbukaan