Nahdlatul Ulama dan Pondasi Spirit Kebangsaan

Lahir pada 31 Januari 1926, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan ormas terbesar di Indonesia dan kini berusia 96 tahun. Rangkaian ucapan jelang usia emas 100 tahun ramai mengisi berbagai platform media sosial. Tingginya antusiasme tersebut menunjukkan besarnya kekuatan cinta pada ormas yang menjadi pondasi penting tercapainya kemerdekaan negeri ini. Dan menjadi hal penting untuk kita menelaah NU dengan relevansinya sebagai spirit kebangsaan.
 

Nama Nahdlatul semula bagian dari nama sekolah kebangsaan, Nahdlatul Wathan (kebangkitan Tanah Air), yang didirikan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah pada 1916. Sekolah tersebut bertempat di Kawatan Gg VI/22 Surabaya, tidak jauh dari Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Surabaya saat ini. 
 

Adapun sekolah tesebut, juga kemudian menjadi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebelum akhirnya menjadi sekolah lagi yang bernama SD Halimah pada 22 April 1974. Sekolah Nahdlatul Wathan tersebut juga memiliki pendidikan kursus yang dikhususkan bagi pemuda, yaitu Jam’iyah Nashihin. Tujuannya agar para pemuda bisa menyiarkan paham kebangsaan. 
 

Paham kebangsaan tersebut memiliki semboyan hubbul wathan minal iman, bahwa cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman. Juga sebuah kaidah: Isy kariman auw mut syahidan, bahwa pemuda memiliki pilihan, hidup mulia atau mati syahid. Sekolah ini kemudian berkembang pesat dan menjadi cikal bakal sekolah-sekolah yang mengajarkan agama sekaligus penguatan spirit kebangsaan saat Indonesia dalam cengkraman penjajah.
 

“Melalui pendidikan, akan tercetak pemuda penyelamat bangsa.” Kalimat tersebut secara eksplisit menjadi makna perjuangan saat itu. Melalui bekal ilmu dan spirit cinta bangsa, Nahdlatul Wathan pun menjadi pondasi penting bagaimana kemudian pemuda-pemuda saat itu. yakni bersatu dan berani membangun strategi mencapai kemerdekaan bangsa. 
 

Dan kehebatan membangun strategi itulah, yang kemudian mengantarkan sebuah peristiwa penting, yaitu terlaksananya musyawarah di kediaman KH Abdul Wahab Chasbullah, Kampung Kertopaten, Surabaya, pada Selasa, 16 Rajab, 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. 
 

Berdasarkan buku ‘KH Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya’,  karya Choirul Anam: dan Perkembangan NU karya Choirul Anam, para kiai yang hadir dalam pertemuan Kertopaten, Surabaya itu adalah KH Hasyim Asy’ari Tebuireng (Jombang, Jawa Timur), KH Abdul Wahab Chasbullah (Tambakberas, Jombang, Jawa Timur), KH Bishri Syansuri (Jombang, Jawa Timur), KH Asnawi (Kudus, Jawa Tengah) KH Nawawi (Pasuruan, Jawa Timur) KH Ridwan (Semarang, Jawa Tengah) KH Maksum (Lasem, Jawa Tengah) KH Nahrawi (Malang, Jawa Tengah) H. Ndoro Munthaha (Menantu KH Khalil) (Bangkalan, Madura), KH Abdul Hamid Faqih (Sedayu, Gresik, Jawa Timur) KH Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon, Jawa Barat) KH Ridwan Abdullah (Jawa Timur), KH Mas Alwi (Jawa Timur), dan KH Abdullah Ubaid dari (Surabaya, Jawa Timur) Syekh Ahmad Ghana’im Al Misri (Mesir), dan beberapa ulama lain yang namanya tidak sempat tercatat. 
 

Pertemuan yang diberi nama Komite Hijaz ini diprakarsai oleh KH Abd Wahab Chasbullah dan KH M Hasyim Asy’ari. Komite Hijaz inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya NU sebagai respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial masyarakat.
 

Pada intinya, Komite Hijaz dibentuk sebagai upaya agar Islam tradisional di Indonesia dapat dipertahankan. Selain itu, panitia ini juga bertugas untuk mempersiapkan pengiriman delegasi ke Muktamar Islam di Mekkah yang digagas Ibnu Saud, penguasa baru Hijaz.
 

Pada hari bersejarah tersebut, ditetapkan Jam’iyah Diniyah Islamiyah Nahdlatul Ulama atau yang sekarang kita kenal sebagai NU. Setelah jam’iyah pemberi mandat sudah terbentuk, maka agenda selanjutnya membicarakan utusan yang akan diberangkatkan menghadap Raja Ibnu Sa’ud dan diputuskan, utusan yang akan diberangkatkan adalah KH Raden Asnawi dari Kudus, Jawa Tengah.
 

Setelah itu, dirumuskan materi yang akan disampaikan kepada Raja Ibnu Sa’ud (Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud), yaitu sebagai berikut:
 

1. Memohon kepada Raja Ibnu Sa’ud untuk menjamin tetap berlakunya kemerdekaan bermadzab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. 
 

2. Memohon tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah karena telah diwakafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Fatimah, bangunan Khoizuran dan lain-lain.
 

3. Mohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia Islam setiap tahun sebelum datangnya musim haji mengenai hal ihwal haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun syaikh haji.
 

4. Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut, dan
 

5. Jam’iyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap Raja Ibnu Sa’ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU tersebut.
 

Secara resmi surat permohonan kepada Raja Ibnu Sa’ud ditulis dalam bahasa Arab dan telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dangan tulisan Arab Pegon seperti dilaporkan oleh Majalah Swara Nadlatoe Oelama, edisi nomor 12, tahun 1 Dzulhijjah 1346 H, halaman 5-7.
 

Bukan hanya peduli terhadap persoalan ibadah, namun jamiyah NU pun memiliki kepedulian tinggi pada persatuan dan perdamaian. Seperti yang disampaikan oleh KH M Hasyim Asy’ari (dikutip dari buku KH Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya,  karya Choirul Anam):
 

“Janganlah kalian jadikan perdebatan itu menjadi sebab perpecahan, pertengkaran dan permusuh-musuhan…. Ataukah kita teruskan perpecahan, saling menghina dan menjatuhkan; saling mendengki kembali kepada kesesatan lama? Padahal agama kita satu: Islam. Madzab kita satu: (Imam) Syafi’i. Daerah kita juga satu: Indonesia (waktu itu sebutannya, Jawa). Dan kita semua ini juga serumpun Ahlussunnah wal Jama’ah. Demi Allah hal semacam itu merupakan musibah dan kerugian yang amat besar.”
 

Dengan begitu, setidaknya NU telah menjadi suri teladan dua hal penting, yaitu penguatan spirit kebangsaan yang ditanamkan melalui lembaga pendidikan dan spirit penyatuan sebagai satu anak bangsa, yaitu Indonesia.


https://jatim.nu.or.id/opini/nahdlatul-ulama-dan-pondasi-spirit-kebangsaan-dztai