Mbah Dim dalam Kenangan Saya

Ngaji Posonan
Abah Kiai Dimyati sedang mendoakan santri yang mengikuti ngaji posonan di ndalem beliau. sumber: alif.id

Iklan

Oleh: Gus Muhammad Isma’il Al-Kholili (Cicit Syaikhona Kholil Bangkalan)

Selama ini banyak yang mengenal saya sebagai alumni Amsilati Jepara, Alumni Ponpes Al-Anwar Sarang, dan Alumni Darul Mushtofa Tarim. Tapi mungkin banyak dari kalian yang tidak tau, bahwa saya juga “alumni” Kaliwungu, meskipun di sana saya hanya mondok sekitar 2 minggu, hanya mondok romadhonan saja.

Ketika itu kalo tidak salah tahun 2009, awalnya saya dan teman saya Khoiruddin asal Brebes sudah punya tekad kuat untuk Mondok “Tariqhat” di Mbah Salman Momongan Klaten, tapi setelah dari sana, entah kenapa kami malah mengurungkan niat untuk ikut riyadhohan, akhirnya kami rembukan untuk cari pondok lainnya, dan Kaliwungu adalah hasil final rembukan kami.

Saya masih ingat betul, waktu itu saya sedang semangat-semangatnya ngaji, sedang khusuk-khusuknya, dan Kaliwungu waktu itu seakan sudah mempersiapkan semua hal yang saya cari. Kaliwungu seolah berkata kepada saya: Mau Ibadah monggo, mau ngaji monggo.

Kala itu setiap malam saya istiqomah sholat Tarawih 1 Juz di Masjid Kaliwungu, saya bermukim di Pondok APIK asuhan Yai Sholahuddin, habis ashar saya ngaji ke beliau. Nah setiap habis Tarawih, kami berjalan kaki untuk ngaji ke KH. Dimyathi Rois atau yang biasa disebut Mbah Dim. waktu itu ngajinya kitab Wasiatul Mushtofa. Jamnya tidak menentu, kadang kami nunggu satu jam, bahkan kadang kami harus nunggu berjam-jam sampai akhirnya beliau kerso memulai pengajian di atas jam 12 malam. Cak Ahmad Kafa dan Cak Im Kafa Lirboyo juga ngaji Pasanan ke Mbah Dim pada tahun itu, tapi saya cuma berani memandang beliau dari kejauhan.
Beberapa tahun kemudian saya baru tau kalo Mbah Yai Kafa adalah santri Mbah Dim, Tadhim beliau kepada Mbah Dim sangat luar biasa.

Dan yang paling membuat saya berkesan adalah penampilan Mbah Dim yang super sederhana, seorang Kiai Besar, Alim-Allamah, tapi pakaiannya hanya baju taqwa lusuh dan peci hitam lawas. Waktu itu kami ngaji di kediaman beliau, yang bisa dibilang sangat minimalis dan sederhana untuk sekelas Kiai Kondang.

Ketika pulang saya menceritakan kekaguman saya kepada ummi :

“Mii.. di sana saya ngaji ke kiai, yang penampilannya nggak kayak kiai sama sekali. Kayak orang biasa” ummi berdecak kagum, saking kagumnya cerita itu juga ummi ceritakan ke banyak orang.

Belakangan saya tau dari tulisan Gus Usman Arrumy, bahwa Mbah Dim ternyata juga punya banyak mobil mewah. Gus Usman menceritakan pengalamannya ketika pertama kali nyantri di Mbah Dim :

“(di awal-awal mondok ) Saya pernah mbatin; (Mbah Dim ) ini Kiai, tapi kok mobilnya sak arat-arat—BMW, Alphard, Jeep Wrangler, Ford Ranger, dan mbuh merek apa lagi,’’ astaghfirullah.

Hingga suatu hari saya tercengang ketika mobil BMW yang tiap hari terparkir di depan ndalem tersebut digunakan hanya untuk ngangkut gabah. Sedangkan mobil Ford Ranger hanya digunakan untuk mengangkut ikan bandeng. Saya tersentak oleh sesuatu yang dulu saya unen-uneni.

Saya dinasehati tidak dalam bentuk kata-kata atau bahkan fatwa sekalipun, namun saya dinasehati oleh kejadian. Seolah-olah Mbah Dim tahu benak saya sehingga harus memberi edukasi dengan cara memperlihatkan bahwa semua dunia yang tampak ini hanya ada di telapak tangan, tidak berada di dalam hati.

Saya yakin, selain sosok yang super tawadhu, zuhud dan sederhana, Mbah Dim adalah seorang yang benar-benar ikhlas dalam memperjuangkan agama, saya pernah mendengar bahwa bahwa semua bangunan pondok Al-Fahdlu yang beliau asuh itu murni dari uang pribadi beliau. bukan uang sumbangan donatur atau bantuan pemerintah.

Sugeng tindak Mbah Dim, Allah Yarhamak wa Yuqaddis Sirrak.

Ila Ruuhi Kh. Dimyathi Rois Al-Fathihah

Ismael Alkholilie, perjalanan Bangkalan-Probolinggo, 10 Juni, 2022

https://nujateng.com/2022/06/mbah-dim-dalam-kenangan-saya/

Author: nu jateng