Jakarta, NU Online
Meningkatnya minat masyarakat berbelanja online secara signifikan selama pandemi merupakan bukti bahwa Indonesia mulai menyeriusi era baru yakni ekonomi berbasis digital.
Melalui platform belanja online, masyarakat disuguhi beberapa keuntungan di antaranya menghemat waktu, berbelanja lebih nyaman, dan mengurangi biaya transaksi. Namun, di balik semua kemudahan itu, ternyata berbelanja online juga memiliki risiko yang tak bisa diremehkan.
Dosen Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Kartini Laras Makmur menjelaskan risiko berbelanja online sendiri bervariatif. Mulai dari penipuan biasa (gambar tidak sesuai dengan produk asli) bahkan sampai tindak pencucian uang. Pencucian uang adalah tindak pidana yang berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, sehingga tampak seolah-olah berasal dari sumber yang sah.
“Pencucian uang kok merugikan masyarakat? Jadi, simpelnya seperti korupsi. Kita sebagai orang yang tidak tahu secara langsung tetap dirugikan. Misal, karena seharusnya ada anggaran yang dialokasikan untuk men-suport pendidikan, jadi berkurang,” jelas Kartini saat mengisi Workshop Daring Risiko Pencucian Uang di Balik Transaksi E-Commerce, Jumat (24/9/2021).
Modus pencucian uang melalui e-commerce biasaya dilakukan oleh pelaku kriminal tanpa sepengetahuan pihak korporasi. Perusahaan e-commerce pelaku jadikan sebagai sarana untuk mencuci uang seperti dalam bentuk menjual barang haram, ilegal, dan bajakan dengan penyamaran-penyamaran.
“Kalau penjual online shop ini menjual barang-barang ilegal, menghasilkan uang yang sangat besar dan disamarkan. Nah, itu bisa menjadi tindak pidana pencucian uang. Hati-hati, misalnya di e-commerce menjual hand phone bajakan, itu tidak boleh,” ungkap lulusan Magister Eramus University Rotterdam tersebut.
Minat belanja online meningkat selama pandemi
Kartini menceritakan pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir dua tahun saat ini membuat roda perekonomian Indonesia terpuruk. Namun, di sisi lain membuat minat belanja online masyarakat Indonesia melejit.
Ia menjelaskan bahwa transaksi pembelian di e-commerce sebelum pandemi mendapati angka yang cukup kecil, dan mengalami peningkatan selama pandemi. Sebelum pandemi, tercatat hanya sebagian dari usia 20 sampai 30 tahun yang selalu menggunakan e-commerce. Masyarakat yang bertransaksi lebih dari tujuh kali dalam sebulan di rentan usia 20 sampai 30 tahun ada di sekitar 5 persen. Kemudian, yang paling banyak ada di 1-3 kali bertransaksi dalam sebulan.
“Juga ada yang masih tidak berbelanja sama sekali. Dibandingkan dengan kelompok umur yang lain, itu ternyata masih ada juga, terutama kelompok paruh baya tidak pernah sama sekali belanja online. Mereka lebih senang belanja ke pasar, ke mall. Ternyata pandemi datang dan membawa dampak yang signifikan,” ujarnya.
Kemudian, dijelaskan bahwa transaksi masyarakat berbelanja online mengalami kenaikan yang cukup signifikan selama pandemi. “Yang menggunakan e-commerce secara intens selama pandemi itu lebih dari 30 persen. Ada juga memang yang menurun. Mungkin karena pandemi ini berdampak ada daya beli mengalami penurunan tapi itu cukup kecil, 4,15 persen,” lanjutnya memaparkan riset yang dimuat Jurnal Teknoinfo yang dirilis tahun 2021 ini.
Masifnya penggunaan e-commerce yang membawa masyarakat beralih ke belanja online, kata dia, selain karena dibantu dengan laju perkembangan teknologi yang pesat juga karena berlakunya pembatasan mobilitas selama pandemi. Pembatasan sosial yang mengharuskan sebagian masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, membuat mereka lebiih adaptif dalam hal menggunakan gawai.
Sementara itu, beberapa faktor pendukung lainnya seperti berbelanja online dirasa lebih berhemat waktu, lebih nyaman, dan dianggap mengurangi biaya transaksi. Hal tersebut turut membuat masyarakat lebih mantap untuk berbelanja di platform digital.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Kendi Setiawan
https://www.nu.or.id/post/read/131559/kenali-risiko-pencucian-uang-di-balik-transaksi-e-commerce