Kalis Mardiasih: Gusdurian sebagai Organisasi Gerakan Sosial Wajib Menulis

Jakarta, NU Online
Esais muda Kalis Mardiasih menyebut Jaringan Gusdurian sebagai organisasi gerakan sosial (social movement). Menurutnya, salah satu yang sudah menjadi keniscayaan dan kewajiban bagi organisasi gerakan sosial adalah menulis.

“(Menulis) itulah yang membedakan organisasi gerakan sosial (seperti Gusdurian) dengan organisasi lain. Sekali lagi, organisasi gerakan sosial memang harus menulis. Karena menulis sebagai produk berpikir atau produk intelektualitas,” kata Kalis dalam acara peluncuran buku kumpulan esai Menatap Lukisan Gus Dur, Rabu (29/9/2021) malam. 

Kalis berpendapat, orang-orang yang berkumpul di dalam satu organisasi sosial memiliki keresahan yang sama yakni soal menghidupi bangsa dan negara; bahkan berupaya untuk memelihara demokrasi yang sudah susah-payah diperjuangkan oleh para aktivis pergerakan terdahulu. Keresahan-keresahan itu harus dituangkan ke dalam sebuah tulisan.

Namun, Kalis menyayangkan karena peran para aktivis di era tahun 2000-2020 ini kerap disubordinasi. Perjuangan aktivis yang berjuang pada era milenial ini dinilai tidak seberat para aktivis terdahulu.

“Karena kita ini (dinilai) cukup untuk menjadi keyboard warrior sudah jadi aktivis. Jadi sekarang katanya, hashtag activism, membuat anak-anak muda cukup bikin akun Instagram sudah bisa sebagai founder pergerakan,” ujar Penulis Buku Muslimah yang Diperdebatkan itu.

 
Sebagai bagian dari kelompok anak muda yang tumbuh bersama media sosial, Kalis secara tegas menolak apabila pergerakan atau peran para aktivis era milenial saat ini disubordinasi. Ia bahkan tidak terima dan tidak rela ketika aktivitas anak muda hari ini diberi makna peyoratif sebagai hashtag activism.

“Nah agar itu tidak dipeyorasi, salah satu hal yang bisa kita lakukan tentu saja adalah tetap menjalani aktivitas berpikir dengan rapi dan tetap menulis. Jadi dengan menulis, kita sedang membuktikan bahwa gerakan anak muda hari ini bukan hanya gerakan keyboard warrior,” tegas Kalis.

Senada, penulis esai Hairus Salim menegaskan bahwa aktivitas menulis melibatkan pikiran dan bukan hanya soal keterampilan teknis. Tulisan yang baik menggambarkan cara berpikir yang juga baik. 

“Menulis itu berpikir. Ketika orang mengatakan tulisan baik, sebenarnya dia diyakinkan soal satu cara berpikir yang sistematis dan logis. Dari dulu sampai sekarang, menulis itu ya berpikir. Jadi kalau kita menulis dengan baik, berarti kita berpikir dengan baik,” kata penulis buku Gus Dur: Sang Kosmopolit itu.

Para penulis esai di buku Menatap Lukisan Gus Dur sudah sangat terlihat upaya untuk berpikir sistematis dan konsisten berpikir rapi. Namun, Hairus menyarankan agar tulisan esai juga harus dipertajam dengan kemampuan analisis dan refleksinya.

Salah satu tulisan yang menonjol di buku itu, kata Hairus, ketika membicarakan tema agama. Sebagian besar penulis di buku itu menulis dengan berangkat dari refleksi atas pengalaman pribadi yang dialaminya. 

“Ini menarik sekali berangkat dari pengalaman pribadi. Menulis juga bisa dimulai dari pengalaman-pengalaman pribadi yang direfleksikan sehingga perjumpaan dengan Gus Dur jadi menarik,” katanya. 

Para penulis esai di buku yang baru saja diluncurkan oleh Jaringan Gusdurian itu, sama sekali tidak pernah berjumpa secara fisik oleh Gus Dur. Mereka hanya bisa mengenali Gus Dur melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah yang sempat direkam atau terunggah di media sosial. 

“(Dan) beruntung karena ada Jaringan Gusdurian yang terus memperkenalkan Gus Dur,” pungkas Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) itu.

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan

https://www.nu.or.id/post/read/131699/kalis-mardiasih-gusdurian-sebagai-organisasi-gerakan-sosial-wajib-menulis