Cerita Pendek oleh Modisty Budiono
Trap trap trap. Kunaiki anak-anak tangga dengan cepat. Aku menyelinap ke belakang jeruji kayu sebuah jendela di lantai dua sambil menyapukan pandangan ke halaman pesantren. Mataku bergerak menunggu sosok seseorang muncul dari arah jam sembilan, dari balik jalanan aspal yang berpayung pohon-pohon ketapang.
Di mana? Kenapa belum muncul juga?
Semenit
Dua menit.
Lima menit. Aduh, aku mulai kesemutan.
Tujuh… ah, itu dia.
Hari ini dia mengenakan sarung biru muda dan kaus putih polos dibalut jas kebesarannya yang memang sungguh kebesaran bagi tubuhnya yang kurus. Sepedanya yang ontel tampak baru dicuci, bersih berkilap-kilap. Dia mengayuh pedal sedemikian rupa, membuat aku harus terus mengucap mashaaallah dan istighfar bergantian. Rambut ikal itu berkibar-kibar ditiup angin.
Fabiayyi ‘alaa irobbikumaa tukadzibaan? Belum lagi bagaimana ia menyetel wajahnya menjadi begitu teduh seteduh naungan jalan berlorong ketapangku, menatap, tersenyum pada orang-orang yang dilalui, dan semua-semuanya. Hal-hal sederhana itu sebisa itu menarik perhatianku. Setiap hari, setiap tempat. Di asrama, di dapur ndalem, koperasi pondok, kolam lele, di mana-mana!
Aku betah memandanginya berlama-lama. Sungguh-sungguh yang lama sekali hingga cukup untuk membuatku tak henti berdoa semoga ini tidak menjadi dosa yang cukup besar.
Aku mengetahui bagaimana gerakan tangannya saat berjalan, caranya membawa nampan makan di setiap sore di koperasi, jalannya melenggang yang tak bisa aku uraikan sebab begitu indahnya. Pandangannya adem, namun penuh akan ilmu, memandang ke setiap penjuru semesta dengan kerendahan hati dan sikap tawadlu yang cukup, tidak pernah kurang apalagi berlebihan.
Aku juga betah mengawasi bagaimana dia memperlakukan kopi hitamnya yang pahit, atau makannya dengan gerombolan santri putra lain yang bagiku seorang, begitu redup: dialah seorang yang menyala paling terang.
Siapakah dia?
Aku tahu namanya, nama lengkapnya, kesukaannya, dari mana dia berasal, dan rambutnya yang ikal di balik kopiah putih. Dan kesenangannya menciptakan kebersihan. Mungkin aku bukan yang paling tahu dia, apa-apanya. Tetapi aku menikmati peranku sebagai santri baru yang memilikinya sebagai tujuan arah pandang pertamaku sejak pertama kali itu juga aku membawa langkah memasuki pekarangan pondok pesantren ini, tiga tahun lalu. Tiga tahun itu juga aku selalu mengarah kepadanya, tanpa siapa pun kuzinkan mengetahuinya. Aku percaya selalu ada perasaan-perasaan yang tidak bisa diberi nama yang jauh lebih indah dan menyenangkan untuk disimpan.
“Rea baik-baik saja?”
Aku menoleh, sudah di dapur ndalem lagi. Di depan wajahku ada sendok teh yang melayang dan uap panas dari cangkir kopi yang diabaikan. Aku meringis, maksudnya sih ingin tersenyum.
“Jangan dipikirkan, Rea. Kabarnya kan belum tentu benar.”
“Itu benar, Maryam. Saya lihat dia sering berkemas.”
Dan kalau mau aku beritahu, ada sebuah berita menyebar di seluruh pesantren beberapa hari yang lalu. Sebuah berita membanggakan, sekaligus sedih bagiku seorang.
“Dia akan pergi.”
Dia akan pergi. Senyum seteduh ketapangku, lelaki bersepedaku, ustadz muda itu.
“Ya ampun, Rea…”
Aku senyum saja. Aku tahu Maryam sahabatku itu mencemaskanku. Aku mencemaskan diriku sendiri.
Begitu lucu mengingat bagaimana kehidupan ini berlangsung. Rasanya baru kemarin aku memiliki perasaan aman bisa terus berada dekat dengan seorang yang kepadanya aku melayangkan banyak sekali doa. Agar dia sehat, agar banyak senangnya. Begitu lucu menyadari aku bisa kapan saja kehilangannya.
Di dunia nyata aku hanya seorang perempuan berantakan yang banyak gaya tapi pemalu dan sedikit ilmu. Sedangkan dia siapa? Lelaki muda yang muridnya di mana-mana. Dia seorang guru, Pak Ustadz, yang suka menulis sajak dan baik kepada semua orang. Siapa aku berani sekali berbuat lebih banyak dari menyenanginya dalam diam dan doa yang ramai?
Sehari-hari kami bertemu. Di beberapa tempat yang itu-itu saja sehingga mengendapkan ingatan-ingatan yang begitu pekat dan kuat dan akhirnya menjadi kenangan-kenangan. Aku menyerah mencoba melupakannya. Sehari-hari dia seorang yang tak banyak bicara tapi ramah dan senang bercanda. Sungguh kombinasi yang memesona aku dari waktu ke waktu. Dia suka tersenyum kepadaku tanpa sedikit pun melihatku. Dia tahu bagaimana caranya menjaga pandangan. Dia suka menggodaku ketika aku melangkah melewatinya yang sedang menyapu di bawah pohon jambu.
“Assalamu’alaikum Mbak Rea, mencari saya?” begitu katanya, tanpa dosa. Padahal aku tidak sedang mencarinya.
Dia juga sering tiba-tiba muncul dan menanyakan kabarku, “Mbak Rea, sehat?” kemudian berhasil membuatku sulit tidur.
Aku ingat waktu beberapa Jumat yang lalu. Aku menemukan sebuah puisi dalam buku catatan berwarna coklat muda yang sudah aku kenal. Bukunya, puisinya. Aku membaca, lalu menyukainya. Aku mengungkapkannya langsung kepada si penyair beberapa hari setelahnya, di dapur ndalem, di depan cangkir-cangkir kopi. Aku berdiri dengan lutut yang sudah lemas duluan dan tubuh mau roboh, dan dia bersandar pada pintu dengan tangan dilipat di dada dan senyum yang tidak pernah dapat aku mengartikannya. Aku berkata, akhirnya.
“Istisna’, tulisan itu, indah sekali.”
Aku merasakan dia terkejut.
“Maaf saya melihat buku kamu di mushala. Saya membukanya, saya membacanya.”
Aku merasakan dia tersenyum. Ya ampun…
“Maafkan saya sekali lagi, saya hanya….”
“Jadi Mbak Rea menyukai puisi saya? Jadi saya punya sudah punya penggemar, ya”
Kini gantian aku yang dibuat senyum. Dia takkan pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Gempa bumi.
“Saya baru tahu kamu suka juga menulis. Saya pikir Mbak Rea sudah lama mengetahuinya.”
Ya ampun, dia adalah seorang sarkastik yang shaleh. Aku malu lagi. Apakah dia mengetahui siapa aku sebenarnya dalam sehari-hari kehidupannya?
“Nanti saya kasih untuk Mbak Rea, ya, mau?”
“Apa?”
“Istisna’ saya. Puisinya saya biar buat Mbak Rea saja,” katanya begitu saja. “Mudah-mudahan Mbak Rea selalu sehat, selalu bisa bersabar, selalu istiqomah, seperti yang diharapkan dalam puisi itu.”
Dia lalu berlalu. Membawa sebaki kopi yang aku seduh tadi.
Apa katanya tadi? Puisi itu untukku? Aku bengong. Aku gagal lagi menjaga keselamatan jantungku sendiri.
Aku berpikir dia menuliskan itu untuk seseorang. Perempuan yang lain, yang bukan aku. Itu puisi tentang sebuah permintaan untuk mengikhlaskannya pergi, untuk menantinya kembali. Itu puisi sederhana, mengandung hal-hal dari pelajaran Bahasa Arab kesukaannya, dan manis. Itu sebuah ungkapan yang amat manis dan jahil.
Dia kembali. Bakinya terisi lagi oleh cangkir-cangkir bekas tamu. Dia meletakannya di hadapanku. Aku mundur beberapa langkah. Menanti-nanti apalagi yang akan dibuatnya. Dia cuma menyesap sisa kopi. Lalu tersenyum lagi. Tanpa melihat kepadaku sama sekali.
“Mbak Rea, terima kasih ya, kopi buatan Mbak Rea enak sekali. Pas.”
Dan dia pergi lagi. Kali ini tidak kembali-kembali.
Belum, Rea, kata Maryam begitu sering. Aku tidak tahu apakah dia akan muncul lagi seperti tadi dan seperti yang sudah-sudah. Aku tidak tahu apakah aku bisa melihatnya lagi melakukan apa-apa yang selama ini aku selalu bisa melihatnya. Aku tidak tahu apakah aku seterusnya bisa cukup baik-baik saja.
Dia pergi demi urusan yang baik, dalam niat yang amat mulia. Abah menghibahkan kepadanya sebuah amanah yang cukup besar. Dia diutus hidup dan mensyiarkan ajaran agama Islam jauuuuh sekali dari pesantren. Dia akan menyebarkan lebih banyak kebaikan. Dia melebarkan sayapnya, terbang jauh meninggalkanku.
Semoga kamu selalu sehat, banyak senangnya, semoga kehidupan tak henti-hentinya memberikanmu kebaikan-kebaikan.
*
Tahun-tahun berlalu. Realita telah tumbuh menjadi lebih dewasa dan siap. Ialah perempuan yang lebih diam sekarang. Kehidupan, sejak kepergian seorang yang dikaguminya, berubah menjadi buku ceritera yang biasa dan itu-itu saja. Realita berhenti. Kertas-kertasnya kosong dan hampa, puisinya tak tahu untuk siapa.
Kertas itu semakin lusuh. Realita sedang bermurajaah, membaca bait-bait sajak yang ditinggalkan. Puisi itu adalah hal terakhir yang mengingatkannya pada suatu hari tentang keindahan. Suatu hari di dapur ndalem, dengan cangkir-cangkir kopi dan obrolan yang menggoyahkan lutut. Suatu hari sebelum kepergian.
Apa yang kamu inginkan? Apa yang sebenarnya mau kamu untuk saya sabarkan? Kenapa tidak segera muncul saja dan membuat segalanya ini menjadi lebih mudah? Dan bukannya kamu bahkan belum mengetahui perasaan saya yang sesungguhnya?
Segala sesuatunya bak misteri ilahi. Perihal lelaki itu. Sedari dulu, sejak pertama bertemu. Realita juga tidak mengerti, kenapa dirinya tidak pergi saja meninggalkan tempat ini. Dan melupakan, mengikhlaskan, barangkali segala sesuatunya akan menjadi baik. Tetapi kamulah Istisna’, sebuah pengecualian yang akan selalu menyertai kemana pun saya pergi. Realita menghela napas panjang, menyadari sendiri betapa Realita bahkan menyayangi puisi ini sepersis Realita menyayangi si penyair yang tak kunjung kembali.
Bahunya mulai berguncang. Kertas puisinya luruh lagi dalam remasan tangan yang sudah tak terhitung jumlahnya. Berkali-kali, bertahun-tahun. Air matanya mengalir tanpa Realita bisa cegah. Ya ampun, Realita rindu sekali orang itu.
Barangkali saya kamu suruh untuk menunggu pulangmu, atau barangkali kamu hanya bermain-main dengan perasaan kita berdua. Semoga kamu selalu sehat dan senang, Pak Ustadz.
*
Lika-likunya bagaikan coretan terpelajar
yang membutuhkan 1 spasi dia tak nampak
beda halnya dengan huruf abz nampak jelas tapi
terkadang mengobok-obok air putih
yang terdiam santai
agak sulit kumenggambarkan rasa
mungkin segelas kopi pahit sangat cukup sebagai
Taukid + panjang lebarnya, Istisna’ itu selalu menyertai
(kecuali) khusus kamu spasinya agak panjang
sebabnya karena langit itu bertingkat
aku tunggu apa kamu yang nunggu
maafkan akunya yang sok sibuk
[Puisi ditulis apa adanya sebagaimana puisi asli penulisnya, lelaki shaleh seteduh pohon ketapang].
Modisty Budiono, santri putri Pondok Pesantren Kauman Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
https://www.nu.or.id/post/read/128735/istisna-sebuah-pengecualian