Hindari Sikap Menyalahkan Orang Lain saat Ada Bencana

Jakarta, NU Online
Saat ini, berbagai musibah bencana terjadi di Tanah Air Indonesia. Mulai dari gempa di Cianjur dan beberapa daerah di Jawa Barat sampai meletusnya gunung semeru di Jawa Timur. Sebagai umat Islam yang percaya kepada Allah, semua kejadian yang menimpa ini adalah sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa. Namun di tengah-tengah bencana ini, ada segelintir orang yang mengaitkannya dengan hal-hal lain.

 

Di antara yang sering muncul dalam perbincangan di tengah masyarakat adalah dihubungkannya musibah atau bencana dengan adzab. Ada pula yang ‘mengkapitalisasi’ bencana untuk berbagai kepentingan seperti politik, ekonomi, agama, dan sebagainya. Semisal mengaitkan bencana dengan menyalahkan orang lain atau punya pemikiran sempit dengan mengatakan bencana akibat kedzaliman pemimpin yang bukan pilihan politiknya.

 

Lalu bagaimana seharusnya sikap umat Islam dalam menghadapi bencana? Bijakkah mengaitkan musibah dengan adzab? Apakah semua bencana dan musibah yang ditimpakan merupakan sebuah adzab? Ataukah sebaliknya semua ini adalah sebuah kenikmatan.

 

Pada artikel NU Online, Sikap Muslim Terhadap Bencana sudah disebutkan bahwa dalam  Buku Fikih Kebencanaan Perspektif NU yang dikeluarkan oleh Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jatim dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Iklim (LPBI) PWNU Jatim pada 2019 mengemukakan dua hal yang seharusnya menjadi sikap umat Islam dalam menghadapi bencana.

 

Secara akidah, umat Islam harus meyakini bahwa bencana yang melanda berasal dari Allah. Umat Islam harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi apapun itu termasuk bencana pada hakikatnya berasal dari Allah. Hal ini menjadi bagian dari keimanan.

 

Meski secara hakiki segala sesuatu berasal dari Allah, umat Islam tetap perlu menjaga etika atau akhlak dan cara pandang terhadap takdir. Umat Islam perlu mengembalikan bencana sebagai sesuatu yang buruk pada manusia itu sendiri.

 

Jadi meski semuanya berasal dari Allah, manusia dituntut untuk menyatakan akhlak perihal bencana sebagai sesuatu yang berasal dari kekhilafan, kesalahan, kekeliruan, kezaliman manusia itu sendiri.

 

Kepercayaan terhadap takdir ini tidak menafikan kewajiban ikhtiar manusiawi. Kepercayaan kepada takdir merupakan bentuk keimanan kepada Allah. Sedangkan secara lahiriah, manusia perlu mengevaluasi dan mengintrospeksi diri apakah perilaku individu, kultur masyarakat, kebijakan pemerintah, dan alokasi anggaran yang diambil selama ini sudah ramah lingkungan.

 

Bencana menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani
Syekh Abdul Qadir al-Jilani menjelaskan bahwa bencana tidak datang sebagai azab bagi orang mukmin. Namun sebaliknya sebagai bentuk cobaan. Orang mukmin diberi musibah oleh Allah, agar diuji sebatas mana tingkat keimanannya. Apakah ia semakin jauh dari Tuhan, apakah semakin dekat.

 

Bagi kaum beriman, bencana yang melanda negara kita, hendaknya menjadi bahan introspeksi diri akan kesalahan-kesalahan kita. Namun fenomena bencana alam justru menjadi ajang untuk mengintrospeksi amal orang lain atau mencari-cari kesalahannya dengan mengambing-hitamkan terjadinya bencana atas perbuatan atau kebijakan pihak tertentu.

 

Hal ini sesungguhnya bukan merupakan sikap yang ideal bagi seorang mukmin. Karena agama melarang seorang mukmin untuk mencari-cari kesalahan orang lain.

 

Maka, sebagai orang yang beriman, hendaknya memahami bahwa bencana sesungguhnya merupakan cobaan bagi kita semua. Bencana mengajarkan kepada kita untuk menjadi pribadi mukmin yang lebih berkualitas lagi, lebih dewasa menghadapi perbedaan-perbedaan, bukan justru sebaliknya.

 

Musibah bisa jadi nikmat
Terkait musibah, Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menegaskan bahwa tidak semua musibah yang diberikan kepada manusia adalah azab. Terkadang ada sebuah musibah yang justru adalah kenikmatan.

 

Hal yang sama juga diungkapkan Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) yang menyebut bahwa segala yang diciptakan Allah Swt tidak bernilai sia-sia. Bahkan selalu selalu ada hikmah di balik musibah atau bencana. Tinggal sekuat apa manusia bisa menggali hikmah yang terpendam di balik bencana tersebut.

 

Manusia memang cenderung memiliki pemahaman yang beragam tatkala melihat peristiwa luar biasa di muka bumi ini. Terlebih kejadian itu kemudian memberi efek pada ketidakstabilan berbagai sektor seperti ekonomi tidak stabil, runtuhnya tatanan sosial, sampai bahkan harus menelan korban jiwa yang tidak sedikit, sebagaimana Covid-19 misalnya.

 

Cara terbaik saat menyikapi situasi ini adalah dengan mengembalikan seutuhnya kepada Allah SWT. Dialah Dzat yang menghendaki semua peristiwa terjadi dan yakin bahwa di balik semua itu ada maksud yang sesungguhnya jauh lebih besar dibandingkan besarnya suatu peristiwa.

 

Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Aiz Luthfi

Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

https://www.nu.or.id/nasional/hindari-sikap-menyalahkan-orang-lain-saat-ada-bencana-0QLd2